Tuesday, May 17, 2005

jodoh

Wei Ku telah beranjak dewasa. Sudah saatnya ia mencari gadis yang baik untuk dijadikan istri. Tapi sampai saat ini, ia belum juga berhasil. Bukan suatu hal yang aneh. Ia memang terlalu mempertimbangkan bibit-bebet-bobot calon istrinya. Maka, saat angin semi mulai bertiup ke dataran Cina pada tahun 807, Wei Ku melakukan perjalanan ke Tsing-Ho.
Di tengah perjalanan, Wei Ku memutuskan untuk beristirahat di sebuah rumah penginapan yang berada di Gerbang Selatan Sung-Cheng. Kebetulan ia bertemu dengan teman sekolahnya dulu. Maka Wei Ku tak segan untuk menceritakan maksud perjalanannya itu. Seperti gayung bersambut, temannya menyarankan Wei untuk mencoba melamar anak gadis keluarga Pan. Menurut temannya itu, keluarga Pan adalah keluarga yang status sosial ekonominya sederajat dengan Wei. Lagipula, gadis itu sangat cantik dan terpelajar. Wei girang bukan main.
Sebelum berpisah, teman Wei berjanji untuk mempertemukannya dengan 'Pak Comblang' dari keluarga Pan di Lung-Shing, esok pagi. Pak Comblang inilah yang akan meneruskan data pribadi Wei kepada gadis tersebut. Bila keluarga itu berkenan menerimanya, maka Wei akan segera berkenalan, sebelum lamaran resmi atau khitbah diajukan.
Kegembiraan yang meluap-luap memenuhi rongga dada Wei. Dibentangkannya sajadah, lalu ia mulai sholat istikhoroh. Baru kali ini Wei merasa melakukannya dengan sepenuh hati, dengan kepasrahan yang murni ... Ah. Tak terasa air mata Wei berjatuhan. Diam-diam menyelinap suatu penyesalan. Mengapa ia baru bisa khusyu' dan dapat merasakan ikatan yang erat dengan Allah, ketika ada masalah berat dan serius yang harus ia hadapi ? ...
***************
Waktu subuh belum lama berlalu, namun Wei telah bersiap untuk pergi menemui Pak Comblang. Makin cepat makin baik, pikirnya. Di bawah sinar bulan sabit yang kepucatan, Wei bergegas menuju Lung-Shing. Fajar belum juga merekah ketika Wei sampai di tempat yang dijanjikan. Sepi sekali. Nyanyian jangkrik perlahan menghilang. Wei benar-benar sendirian. Di tengah kegamangan hatinya, Wei mencoba mengitari bangunan itu. Seperti sebuah musholla kecil. Cahaya lilin yang memantul di sela-sela kaca jendela, membangkitkan rasa ingin tahunya.
Wei berjingkat ke arah jendela. Ditempelkan matanya ke celah-celah ...
"Hei, masuklah!"
"Jangan mengintip seperti itu!"
Wei tersentak. Rasa malu, kaget dan takut berbaur menjadi satu.
"Ayo, masuklah. Jangan takut!"
Suaranya lebih lembut namun tetap berwibawa. Wei ragu-ragu. Tetapi rasa ingin tahu sedemikian menyerbunya. Akhirnya ia memberanikan diri melangkah ke dalam.
"Kemarilah!" ajaknya tanpa melihat muka Wei.
Wei memperhatikan dengan penuh seksama. Laki-laki itu belum terlalu tua, tapi wajahnya memancarkan kebaikan yang seolah-olah bersumber dari seluruh aliran darahnya. Bijak, arif, lembut namun tegas. Tentulah ia pengemban amanah yang luar biasa, pikir Wei.
Laki-laki itu duduk di atas permadani sambil membaca sebuah buku. Lalu ia berkata perlahan: "Belum saatnya Wei.... Belum saatnya." Wei menatap wajahnya dengan penuh kebingungan.
Lalu laki-laki itu kembali melanjutkan. Kali ini ditatapnya Wei dengan ketajaman jiwa. "Kau tahu? Semenjak seseorang ada dalam kandungan ibunya, Allah Ta'ala telah menetapkan 3 hal untuknya. Kau sudah tahu bukan! Salah satu di antaranya adalah jodohnya.. pasangan hidupnya."
"Hmmmm..... seperti benang sutera."
"Ya, seperti benang sutera yang diikatkan di antara mereka berdua. Kepada kaki laki-laki atau bayi perempuan yang lahir dan ditakdirkan berjodohan satu dengan yang lainnya. Begitu simpul diikatkan, maka tak ada suatu hal pun yang dapat memisahkan mereka."
"Salah seorang diantara mereka mungkin saja berasal dari keluarga yang miskin, sedang yang lainnya dari keluarga yang kaya. Atau mereka terpisah bermil-mil jaraknya, bahkan mungkin ada yang berasal dari dua keluarga yang saling bermusuhan. Tapi pada akhirnya, bila saatnya telah tiba, mereka akan menjadi suami istri. Tak ada suatu hal pun yang dapat mengubah takdir itu." Laki-laki itu terdiam sesaat. Wei kini sudah sepenuhnya duduk terpekur di hadapannya. Kalimat demi kalimat disimaknya dengan seksama.
"Jodoh adalah masalah yang paling ajaib dan paling gaib. Suatu rahasia kehidupan yang tak akan pernah tuntas untuk dimengerti. Bayangkan. Dua anak yang berbeda, tumbuh di lingkungannya masing-masing. Sebagian besar mungkin tidak menyadari kehadiran satu dengan lainnya. Tapi bila saatnya tiba, mereka akan bertemu dan mengekalkan ikatannya dalam tali pernikahan."
"Kalau ada wanita atau laki-laki lain yang muncul di antara keduanya, ia akan terjatuh. la tak akan mampu melewati bentangan tali sutera yang telah diikatkan pada mereka. Ah, kau pasti pernah melihat orang yang patah hati bukan? Hhh, sebagian orang yang bodoh dan tak kuat menahan cobaan, memilih mati daripada patah hati. Bukan takdir yang memilihnya untuk bunuh diri. Itu pilihannya sendiri, ia cuma tak sabar menanti saat pertemuan itu datang."
"Ketahuilah, Wei. Masalah jodoh adalah rahasia Allah. Kau harus dapat berdamai dengan takdirmu."
"Bagaimana dengan aku!" sela Wei. "Apakah aku akan berhasil menikah dengan anak gadis dari keluarga Pan? Apakah ia takdirku?" tanyanya tak sabaran. Laki-laki itu tersenyum.
"Belum saatnya Wei. Belum saatnya. Suatu saat nanti, kau akan menikah dengan seorang gadis shalihat, cantik dan pintar. Pun dari keluarga yang terhormat. Kelak, setelah menikah, kalian akan mempunyai anak laki-laki. Dan anakmu akan menjadi pedagang yang terpelajar. Ia dermakan kekayaannya untuk agama Allah. la juga akan menjadi anak yang senantiasa memelihara kedua orang tuanya. Meskipun kalian sudah tua renta nanti. Hal ini tak lepai dari peranan ibunya dalam mendidik anak itu."
"Tapi itu nanti. Bila calon istrimu telah mencapai usia 17 tahun. Sayangnya, saat ini dia masih berumur 7 tahun."
"Hah!" Wei kebingungan. "Jadi saya harus membujang selama 10 tahun ?!" Wei menatap tak percaya. Ia berharap semua hanya kemungkinan karena ia salah dengar saja. Wei mencari kesungguhan di sana. Tapi semua sia- sia. Air muka laki-laki itu tak berubah sedikit pun. Dan Wei menyadari semua adalah kebenaran.
"Kalau begitu, di mana dia sekarang? Dimana saya dapat menemui calon istri saya? Tolonglah?!" Wei memohon padanya. "Oh, gadis itu tinggal dengan wanita penjual sayur. Tak jauh dari sini. Setiap pagi, wanita itu datang ke pasar dan menjajakan sayurannya di sebelah kios ikan." Kukuruyukkkkk ... !! Suara nyaring ayam jantan memecah keheningan. Wei tersentak.
Kukuruyukkkkk...! ! Kokok nyaring ayam jantan membangunkan Wei dari tidurnya. Ah, rupa-rupanya ia tertidur di atas sajadah. Alhamdulillah, waktu subuh belum habis. Wei bersegera mengambil wudhu. Sehabis sholat subuh, Wei kembali teringat mimpinya. Seolah semua menjadi teka-teki. Wei belum tahu apakah harus menganggapnya sebagai jawaban atas sholat istikhorohnya atau tidak. Untuk mcnyingkap tabir mimpi itu, cuma ada satu cara yang bisa dilakukannya: mencari gadis kecil yang katanya calon istrinya itu!
Lalu Wei pun bergegas ke pasar terdekat. Sepanjang jalan ia berdoa dan berjanji. Berdoa agar calon istrinya memang benar-benar baik bibit, bebet dan bobotnya. Sebagaimana telah diisyaratkan dalam mimpi. Dan berjanji untuk menerima takdirnya dan berusaha menjadi muslim yang baik. Lebih baik dari kualitasnya sekarang. Fajar telah lama merekah saat Wei tiba di sana. Orang-orang mulai melakukan kegiatannya. Pembeli mulai berdatangan. Ramai. Namun belum seramai satu jam yang akan datang. Maka Wei lebih leluasa untuk mengamati sekitarnya. Matanya berkeliling mengitari pasar, lalu tertumbuk pada sosok kecil di samping kios ikan.
Wanita itu tua, kotor, lusuh. Kumal. Rambutnya telah keabu-abuan. Dengan sebelah mata tertutup lapisan katarak, ia duduk di selembar alas sambil menggendong bocah kecil di dadanya. "Oh, tidak!! Bagaimana mungkin?! Ini pasti kekeliruan!" Wei menatap kembali bocah terlantar yang kurus kering itu. Hatinya hancur. Ah, mimpi semalam benar-benar hanya bunga tidur.
Wei kembali ke penginapannya dengan hati lesu. Kali ini bukan saja ia kecewa karena calon istrinya ternyata hanya seorang bocah gelandangan, tapi juga karena 'Pak Comblang' dari keluarga Pan tidak datang pada pertemuan yang ia janjikan. Tanpa suatu penjelasan apapun. Ah, sudah jatuh dari tangga, tertimpa genteng pula!
Saya adalah seorang yang terpelajar. Sudah selayaknya saya mendapatkan seorang gadis dari keluarga terhormat. Semakin lama Wei memikirkan hal tersebut, semakin jijik ia membayangkan kemungkinan menikahi bocah kumal itu. Benar-benar menggelikan. Wei khawatir hal tersebut benar-benar akan terjadi. Dan ia tidak dapat tidur semalaman.
Keesokan hatinya. Wei pergi ke pasar bersama dengan pelayan setianya. Wei menjanjikan imbalan yang sangat besar apabila ia berhasil membunuh bocah kumal itu. Wei dan pelayannya berdiri di belakang pembeli. Begitu kesempatan datang, pelayan Wei menikamkan pisaunya ke arah si anak, lalu mereka kabur. Bocah kecil itu menangis dan wanita buta yang menggendongnya berteriak-teriak: "Pembunuh! Pembunuh!" Kegemparan segera menyebar ke seluruh penjuru pasar.
Sementara itu, Wei dan pelayannya telah lenyap dari tempat kejadian. "Kau berhasil membunuh dia?" tanya Wei terengah-engah. "Tidak," jawab pelayannya. "Begitu saya menghunjamkan pisau ke arahnya, anak itu berbalik secara tiba-tiba. Saya rasa saya hanya melukai mukanya. Dekat alisnya."
Wei segera meninggalkan penginapan. Kejadian itu dengan segera terlupakan oleh masyarakat sekitar. Ia kemudian pergi ke arah Barat menuju ibukota. Karena kecewa dengan kegagalan pernikahannya, Wei memutuskan untuk berhenti memikirkan perkawinan. Tiga tahun kemudian Wei dijodohkan dengan gadis yang mempunyai reputasi baik yang berasal dari keluarga Tian. Sebuah keluarga yang cukup terkenal di masyarakat sekitar. Anak gadisnya terpelajar dan sangat cantik.
Semua orang memberi selamat pada Wei. Persiapan pernikahan tengah dilangsungkan, ketika suatu pagi Wei menerima berita yang menyakitkan. Calon istrinya melarikan diri dengan laki-laki yang dicintainya. Mereka berdua telah menikah di kota lain. Selama dua tahun Wei berhenti memikirkan pernikahan. Saat itu ia berusia dua puluh delapan tahun. Ia berubah pikiran tentang mencari pasangan dari masyarakat yang sekelas dengannya; seorang gadis kota terpelajar.
Maka Wei pergi ke pedesaan, mencari suasana baru. Di desa, Wei menghabiskan waktu dengan mempelajari buku-buku. Suatu hari ia membawa bukunya ke sungai di dekat ladang, agar lebih nyaman membacanya. Tanpa sengaja ia melihat gadis desa yang sedang memanen kentang. Wei jatuh hati padanya dan bersegera menemui orang tua gadis itu. Gayung bersambut, gadis itu menerima lamarannya. Maka Wei bergegas ke kota untuk membeli perhiasan dan baju sutera serta segala persiapan pernikahan. Selama beberapa hari, Wei berkeliling mengunjungi saudara-saudaranya untuk mengabarkan berita gembira itu.
Seminggu kemudian ia kembali ke desa. Tapi yang ditemuinya hanya kabar buruk tentang sakitnya sang calon. Wei bersedia menunggu sampai ia sembuh. Sampai setahun hampir berlalu, penyakit calon istrinya malah semakin parah. Gadis itu kehilangan seluruh rambutnya dan menjadi buta. Ia menolak menikahi Wei dan berpesan pada orang tuanya untuk meminta Wei melupakan dia. Ia mohon agar Wei mencari gadis lain yang layak untuk dijadikan istri.
Tahun demi tahun berlalu, sampai akhirnya Wei mendapatkan calon yang sempurna. Bukan saja ia cantik dan masih muda, tapi juga pencinta buku dan seni. Tak ada rintangan, khitbah pun segera dilangsungkan. Tiga hari sebelum pernikahan, gadis itu terjatuh dari tangga dan mati. Sepertinya nasib mengolok-olokkan Wei. Wei Ku menjadi fatalis. Ia tidak lagi peduli pada wanita, ia hanya bekerja dan bekerja. Sekarang ia bekerja di kantor pemerintahan di Shiang-Chow. Mengabdikan diri pada tugas dan sama sekali berhenti memikirkan pernikahan. Tapi ia bekerja dengan sangat baik, sehingga atasannya, Hakim Tai, terkesan pada dedikasi dan kesungguhannya. Lalu mengusulkan Wei untuk menikahi keponakannya. Pembicaraan itu sangat menyakitkan Wei.
"Mengapa Tuan mau menikahkan keponakan Tuan pada saya! Saya terlalu tua untuk menikah."
Pejabat itu menasehati Wei tentang keburukan membujang. Lagipula menikah adalah sunnah Rasulullah. Maka Wei menyetujuinya, meskipun ia sama sekali tidak antusias. Wei benar-benar tidak melihat istrinya sampai pernikahan benar-benar selesai dilangsungkan. Istrinya ternyata masih muda, Wei lega melihatnya. Tingkah lakunya sangat baik dan Wei harus mengakui bahwa ia adalah istri yang sangat baik. Taat, sholihat dan selalu menyenangkan. Sama sekali tidak ada alasan untuk tidak menyukainya.
Bila di rumah, istrinya selalu menata rambut dengan cara yang khas, sehingga menutupi pelipis kanannya. Menurut Wei, dengan tata rambut seperti itu istrinya kelihatan sangat cantik, tetapi ia agak heran. Tak kurang dari satu bulan, Wei telah benar-benar jatuh cinta kepadanya. Suatu saat ia bertanya, "Mengapa dinda tidak mengganti gaya rambut sekali-kali? Maksudku, mengapa dinda selalu menyisirnya ke satu arah?"
Istri Wei menyibakkan rambutnya dan berkata, "Lihatlah!" Ia menunjuk ke luka di pelipis kanannya.
"Bagaimana bisa begitu?"
"Aku mendapatkannya saat berumur tujuh tahun. Ayahku meninggal di kantornya, sedangkan ibu dan abangku meninggal dunia pada tahun yang sama. Kemudian aku dirawat oleh ibu susuku. Kami mempunyai rumah di dekat Gerbang Selatan di Sung-Cheng, dekat kantor ayahku. Suatu hari, seorang pencuri tanpa alasan apa pun, mencoba membunuhku. Kami sama sekali tidak mengerti, kami tidak pernah punya musuh. Ia tidak berhasil, tapi ia meninggalkan luka di kepala sebelah kananku. Karena itulah aku selalu menutupinya darimu."
"Apakah ibu susumu hampir buta?"
"Ya. Kok tahu?"
"Akulah pencuri itu. Ah, tapi bagaimana mungkin! Semua begitu aneh. Semua terjadi, seperti ada yang telah mentakdirkan."
Wei kemudian menceritakan semuanya. Bermula dari mimpinya setelah ia sholat istikhoroh, sekitar sepuluh tahun yang lalu. Istrinya juga bercerita, ketika ia berusia sembilan atau sepuluh tahun, pamannya menemukan ia di Sung-Cheng dan mengambilnya untuk tinggal bersama keluarganya di Shiang-Chow.
Akhirnya mereka menyadari bahwa pernikahan mereka adalah sebuah takdir yang telah digariskan Allah Ta'ala. Wei menangis. Ia malu pada Penciptanya. Malu pada kesombongannya untuk menentang takdir. Ah ... pada saat itulah, Wei menyerahkan segala urusannya kepada Allah. Tapi kenapa ketika ia mendapatkan petunjuk, ia malah mengingkarinya ?
Saat itu juga, Wei melakukan sholat taubat. Untuk menjadi mukmin yang baik. Begitulah, kasih sayang di antara mereka kian tumbuh subur. Setahun kemudian lahirlah anak laki-laki. Istri Wei mendidiknya dengan sangat baik. Setelah dewasa, ia menjadi seorang yang terpelajar. Usahanya di bidang perdagangan maju pesat. Ia sangat penyantun dan terkenal kedermawanannya.
Ketika sang anak menjadi gubernur, Wei Ku telah lanjut usia. Anak dan istrinya tetap setia memelihara dan mencintainya. Di tempat mereka pertama kali bertemu, empat belas tahun sebelum pernikahan, anak Wei membangun tempat peristirahatan untuknya.
(retold by : Lin Yu Tang / Ulan)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home