Sunday, August 28, 2005

aku ingin sepertimu...

sebut saja namanya udin, dia temanku.bagiku, tidak ada yang istimewa dari dirinya kecuali....semangat hidupnya...kemauan dan kerja kerasnya...dan...semangat belajarnya yang tinggi.
aku kenal udin sejak aku masih sekolah dasar. Ketika aku masuk SMP, udin harus puas hanya menikmati ijazah SD saja (ijazah-nya pun ada atau tidak). Orangtuanya bercerai dan ayahnya menikah lagi, udin kecil tidak cocok tinggal dengan ibu tirinya, sehingga dia tinggal layaknya burung gereja, menclok sana menclok sini, dirumah uwak, tempat nenek, rumah teman, musholla, atau dimanapun yang penting tidak kehujanan dan alhamdulillah kalo dapat makan.
dari kecil udin sudah bekerja, dari jual koran, asongan, tukang cuci piring, koki di kafe tenda, atau apapun yang bisa dikerjakan dan dapat secuil upah. aku dan teman2 ta'lim pernah mencicipi masakannya. waktu itu dia membuat spaghetti saus ayam...ehhhhm
lumayan uenak, meskipun saat itu kami buat terlalu banyak. bayangkan....satu tampah, sedang kami saat itu cuma ber-tujuh, akhirnya sisanya kami limpahkan ke teman2 lain yang ada di musholla.
saat itu, kalo tidak salah aku sudah SMP, udin kecil diajak temanku untuk ikut ke kampungnya di sulawesi selatan, tepatnya di Maccopa. disana dia diajak mondok (yang tentu saja gratis, karena temanku sudah duluan mondok disana dan orangtuanya bersedia
bertanggungjawab terhadap udin). akhirnya udin kecil pergi mondok disana, sambil bekerja membantu mengurus kebun milik temanku itu. disana udin bekerja memetik cengkeh. udin cerita, untuk memetik cengkeh harus pake tangga yang puluhan meter tingginya, dan pohon2 cengkeh itu umumnya berada diatas2 bukit/tebing. bayangkan, kalo jatuh sudah gak bisa dicari mayatnya, ujarnya saat bercerita.
dari pengalamannya mondok disana, udin kecil lumayan mapan pemahaman agamanya, selain tentu saja hapalan alqur'an-nya. setelah cukup lama dipondok, dia minta ijin pulang ke jakarta dulu karena kangen sama orangtua dan berjanji akan balik lagi jika sudah ada
ongkosnya.
sekembalinya udin dari maccopa, setelah puas melepas rindu bersama keluarga, udin kecil mengisi hari-harinya mengajar anak2 kampung kami belajar mengaji. ups...bukan hanya mengaji namun belajar agama (dari aqidah, shiroh, fikih, dll). udin tidak membiarkan anak2 itu main tidak ada juntrungannya, bahkan menurutku saat itu udin lumayan tegas dan keras pada murid2nya. saat itu musholla kami semarak,terutama habis maghrib, anak2 (terutama banyak dari kalangan tidak mampu) mengisi aktifitasnya dari
magrib hingga isya, bahkan hingga jam 9 malam jika besoknya libur. aktifitas ini tidak dipungut biaya sedikitpun oleh udin. dia berprinsip, sudah ada yang mau ngaji saja sudah bagus. namun demikian, anak2 seringkali membawakan makanan buat 'ustadz-nya'
(barangkali itu wujud rasa sayang mereka). Bagaimana dengan aku saat itu..? saat itu aku cuma membantu mengajarkan iqro jilid satu buat anak2 yang under seven year. lucu juga yaa..mengajar anak2 itu, ketika aku tuntun membaca (satu persatu dan duduk berhadapan
denganku) lalu aku suruh perhatikan bukunya, mereka malah memperhatikan wajahku dengan tatapan polosnya. aku suruh lagi lihat bukunya, mereka malah terus mendongakan wajahnya ke wajahku, dan tentu saja membuatku jadi tidak bisa menahan tawa (i miss that episode).
belum genap setahun aktifitas ini berlangsung, udin berniat balik lagi ke maccopa, karena dari sana dia ditawarkan untuk bekerja di malaysia timur sebagai guru ngaji. jadilah udin berangkat ke malaysia. Disana dia mengajar ngaji privat pada sebuah keluarga. namun
karena udin tidak punya paspor maupun visa, akhirnya udin tidak diperbolehkan mengajar, meskipun keluarga tsb sebenarnya tidak keberatan dan merasa senang dengan udin. atas bantuan dari keluarga tsb, akhirnya udin bekerja di perkebunan kelapa sawit. disana udin berkenalan dengan seorang gadis dayak, dan sudah berniat melamarnya. namun takdir memaksa udin mengurungkan niatnya, karena pada hari dimana dia akan
menghadap orangtua si gadis, pemerintah Malaysia melakukan sweeping besar2an kepada penduduk illegal,terutama dari Indonesia. eksodus besar2an terjadi, dan udin ada diantara mereka. seluruh uang jerih payahnya selama bekerja di malaysia di sita. nikah gak jadi, uang di sita, dipulangkan ke Indonesia, begitulah udin.
sekembalinya udin ke kampungku, kembali dia mengajar anak2 muridnya yang dulu. dari perbincangan kami, saat itu udin merasa harus punya pekerjaan tetap buat masa depannya, katanya. aku membicarakan apakah dia mau buat warung kopi atau warung makan atau apalah warung2 yang lain. aku katakan padanya, aku ada rumah di cibitung, kosong belum ditempati, namun aku belum punya uang buat modalin bikin usaha, kataku saat itu. udin bilang dia bersedia menunggu, sambil usaha cari pinjaman buat modal.
namun takdir berkata lain. berdasarkan informasi dari seorang ikhwan ta'lim yg sama2 kami ikuti, seorang ustadz memberitahukan bahwa ada sebuah sekolah internasional bernafaskan islam, membutuhkan seorang guru tahfidz untuk anak2 SD. pengelola sekolah yg kebetulan kenal dengan ustadz ini minta dicarikan satu ikhwan untuk mengisi posisi tersebut.
singkat cerita, si udin akhirnya diterima bekerja di sekolah internasional tsb (tentunya dengan masa percobaan). pada pengelola sekolah udin berterus terang, bahwa secara formal, dia hanya tamatan SD, dia juga cerita bahwa dia pernah mondok, dan bekerja sebagai guru ngaji di malaysia. barangkali dengan pertimbangan tersebut akhirnya udin diterima, tentu saja selain karena kemampuannya dibidang yang sedang dibutuhkan sekolah itu.
lantunan reff lagu padi terdengar...........ponselku berbunyi...nomor baru,pikirku.....haloo... hai..assalamu'alaikum...tanno..ini ana, udin. ternyata si udin yg telepon (sudah punya HP dia), dia memberikan dua kabar, yang satu kabar baik, satunya
lagi kabar buruk.aku tanya padanya, kabar baiknya apa? dia bilang,dia sudah diangkat jadi karyawan tetap di sekolah tsb (alhamdulillah, kataku saat itu). Lantas kabar buruknya apa din, kataku. Insya Allah bulan depan ana nikah (hahhhhhh....aku kaget mendengarnya), tentu saja dia bercanda bilang ini kabar buruk. Dia bilang dia belum punya cukup uang untuk nikah (minta ditunda beberapa bulan), namun pihak perempuan bilang tidak apa2. akhirnya dari pinjaman sana-sini udin menikah juga di bogor 12 sept 2004, sehari setelah aku menikah. niatnya aku mau hadir bersama istriku, namun selain karena fisikku masih lelah (bukan ape2, meladeni tamu hingga larut malam) juga karena tidak di ijinkan oleh mertuaku (pamali katanya), akhirnya aku cuma bisa kirim SMS. subuhnya dia sms aku, "hai...sudah bisa tembus belum..?" (emangnya togel...pikirku).
kurang dari dua minggu yang lalu, udin menawarkan kambing aqiqah murah buat anakku yang baru lahir (kambing dari karawang katanya), kami sepakat bertemu di ta'lim untuk kemudian ke kontrakannya di daerah rawalumbu. usai talim aku kaget juga ketika dia
ternyata membawa supra fit (miliknya sendiri), sedikit demi sedikit ngumpulin katanya. dikontrakannya kulihat sudah ada TV 20", Tape yg bisa CD,VCD,MP3,dispenser yg
bisa panas dan dingin, dan sederetan perpustakan kecil.
begitulah temanku udin, jika aku lihat hidupnya, dipenuhi keajaiban. sungguh benar kata ALLAH bahwa dia akan memberikan rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangka, tentu saja buat hambanya yang bertaqwa.
secara formal, udin hanya lulusan SD, namun anak tunggal BIGBOSS tempatku bekerja saja menjadi muridnya di sekolah internasional tersebut (small world).
aku akan selalu menjadi temanmu......
salam penuh cinta
Tanno K Helaw
_ahya

Saturday, July 16, 2005

Ghozzan

Jam dinding menunjukkan tepat jam dua belas malam.
Entah kenapa tiba-tiba aku terbangun. Kutatap dalam-dalam wajah istriku yang masih lelap dalam tidurnya.
Kubelai perlahan anak rambutnya yang tergerai di dahinya.
Kamu cantik Ghozzan,... bisikku perlahan.
Tanpa terasa, usia pernikahan kami sudah menginjak tahun yang ketiga tapi kami belum juga dikaruniai anak.

Ya Tuhan... karuniakan kepada kami anak, seorangpun tak mengapa..., begitu jerit do'aku tiap malam di atas sajadah.
Tapi entahlah hikmah apa yang tersembunyi di balik semua ini.
Aku yakin, Tuhan menyimpan hikmah itu untuk kuketahui kelak.
Ya,... itu pasti!!

"Ghozzan..., bangun... sholat yuuk..." Kutepuk pipi istriku perlahan.
Ia menggeliat. Aku tersenyum saja. Mungkin ia masih lelah, seharian mengurus rumah.
Mengepel, memasak, mencuci, membersihkan rumah, masih ditambah lagi kesibukannya menulis di media cetak.
Ah... aku sayang padamu Ghozzan....

Akhirnya, aku beranjak sendirian.
Berwudhu dan kemudian tenggelam dalam sholat malamku yang panjang.
Dan selalu do'a itu yang aku dahulukan.

Ya Tuhan, jika Engkau memberi kami anak yang sholih, tentu kami termasuk orang-orang yang bersyukur.
Jam dinding berdentang tiga kali, kulihat Ghozzan sudah ada dibelakangku dengan wajah merajuk.
Kutatap wajahnya dengan geli.

"Kamu kenapa? Mulutnya monyong begitu...?" godaku.
Ghozzan semakin merajuk.
"Si Mas mesti begitu....,nggak bangunin Ghozzan....," protesnya.
Aku tersenyum arif.
"Lah wong, kamu pules banget tidurnya. Mana Mas tega bangunin..., tadi nulis sampai jam sebelas 'kan?
Mosok baru tidur satu jam, sudah disuruh bangun lagi..."

"Iya deeh..., tapi nanti temani Ghozzan muraja'ah Qur'an yaa....," pintanya manja.
"Inggih, sendiko dawuh....," jawabku dengan logat jawa kaku.
Maklum besar di betawi.
Ghozzan tertawa geli mendengar jawabanku.
Serentak jemarinya yang mungil beraksi menggelitik pinggangku.
"Ssssst...., sudah ah, sholat sana, nanti keburu subuh....," elakku.
Ghozzan masih tersenyum sambil mengerjapkan matanya, lucu.
Sering kulihat Ghozzan termenung menatap ikan-ikan kecil di aquarium kami.

Matanya nanar menatap kosong ikan-ikan berwarna perak itu.
Ia betah diam tanpa ekspresi seperti itu. "Ssst...., Muslimah kok hobi bengong, siih..?" bisikku persis di telinganya.
Ghozzan tersentak kaget.
Pipinya bersemu merah, malu ketahuan melamun.
"Enngg.... nggak kok, ini lho Mas..., ikannya bertelur....," katanya perlahan.
"Ck.... pura-pura, dari tadi Mas lihat matamu tak berkedip, lama banget.
Itu bengong namanya, Non....," ku acak kepalanya gemas.

"Ikan saja bisa punya keturunan ya Mas...., kita kapan?" tanyanya lirih, hampir tak terdengar.
Seketika mataku memanas. Leherku tiba-tiba tercekat. Oh, Tuhan...
"Yaa..., sabar dong Non...., insya Tuhan ada hikmahnya....," tuturku, mencoba tegar.
Ghozzan tersenyum manis, lalu menggamit lenganku menuju meja makan.
Tak lama kemudian ia kembali berceloteh menceritakan aktivitasnya seharian.

Ah Ghozzan... Ghozzan... Ketika pernikahan kami menginjak tahun kedua, kami sudah memeriksakan diri seccara intensif pada dokter kandungan.
Hasilnya kami berdua normal! Dokter cuma menyuruh kami untuk bersabar, berdo'a, dan berusaha tentunya.
Yah.. barangkali kami berdua memang sedang diuji.

"Nikah lagi saja, Maaas....," celetuk Ghozzan suatu kali.
Aku tersentak. Keturunan memang sangat kuharapkan. Tapi membagi cintaku pada Ghozzan dengan wanita lain, meski itu dibolehkan dalam islam, apa aku sanggup??
Kucubit pipi istriku perlahan. "Nggak takut cemburu?" tanyaku menggodanya.
"Cemburu kan manusiawi Mas..., Aisyah juga cemburu sama Khadijah, tapi bukan cemburu masalahnya Mas..., kalau Mas punya istri lagi, kan
Ghozzan bisa ikut membesarkan anak dari istri Mas...," tuturnya panjang lebar.
"Kalau dia juga tidak bisa hamil?" "Ambil istri lagi...."
"Kalau belum punya anak juga?" "Ambil lagi..."
"Hussss...sembarangan!!" protesku pura-pura galak.
Kudekap kepala mungilnya erat-erat.

Hari ini ulang tahun perkawinan kami yang keempat. Umurku sudah duapuluh delapan tahun.
Uban dikepalaku sudah belasan jumlahnya. Ketika menikah dulu Ghozzan bilang, ubanku ada enam lembar!!
Dan sampai saat ini kami belum di percaya Tuhan untuk menimang seorang anak.

Tapi aku masih cinta Ghozzan. Dan, tidak akan pernah pudar.
Wajah Ghozzan yang oval dengan hidung yang bangir dan mulutnya kelihatan merah berseri-seri.
Kulihat ia membawa sebuah nampan besar yang tertutup ke arah meja makan.

Lalu ia menarik lenganku manja. "Sini Mas....," ajaknya. Aku menurut saja.
"Happy fourth anniversary...," katanya, lembut. Mataku berkaca-kaca.

Perlahan kubuka nampan itu.
Sebuah kue taart, romantis sekali
Dan sebuah amplop, dengan logo sebuah klinik.
Keningku berkerut. Ketika tanganku bergerak hendak mengambil amplop tersebut, seketika Ghozzan merebutnya.
"Makan dulu dooong....," protesnya.
Aku cuma menggeleng-gelengkan kepala, sambil tersenyum.
Tak urung kuraih pisau lalu, "Bismillahirrohmanirrohiim...," kupotong taart itu.
Ghozzan tersenyum, ia kelihatan bahagia sekali.

Kutengadahkan tanganku meminta amplop itu. Ghozzan menggeleng.
Makan dulu...., katanya. Ku garuk-garuk kepalaku dengan gemas. Ni, anak bikin penasaran juga.
Setelah selesai menyantap potongan kue yang kumakan dengan dua kali telan. Dan Ghozzan protes karenanya. Kurenggut amplop di tangannya.
Dan ...., Maha suci Engkau wahai Rabb seru sekalian alam!!! Ghozzan hamil!!!
Masya Allah ..., setelah sekian tahun!!! ...Seketika aku tersungkur sujud.

Air mataku meleleh. Kudekap kepala Ghozzan erat-erat.
Air mataku masih mengalir, menitik membasahi kepala Ghozzan.
Ia mendongak, jemarinya menghapus air mataku.

"Mas menangis?" tanyanya retoris.
Aku mengangguk. Ya, aku menangis! Tangis syukur ....
"Kok periksa ke dokter nggak bilang-bilang ?" protesku.
"Biarin, nanti nggak surprise....," katanya.

Tiba-tiba aku merasa bersalah. Sejak tahun ketiga pernikahan kami, aku tidak lagi rajin mengikuti tanggal-tanggal haid dan masa subur Ghozzan seperti dulu.
Kudekap Ghozzan makin erat. Sejak hari itu, kesehatan Ghozzan menjadi perhatian utamaku.
Aku sering marah-marah kalau Ghozzan masih juga suka menulis sampai larut malam.
Ya, tiba-tiba aku menjadi sangat cerewet.

****

Sembilan bulan, lebih delapan hari.
Rasanya hari itu tiba ...., tadi pagi Ghozzan sudah mulas-mulas.
Katanya mulasnya dimulai dari punggung menjalar sampai ke depan.
Aku ribut setengah mati. Kuraih gagang telpon. Aku menelpon seorang teman untuk membawa mobil ke rumah.
Ghozzan masih mengeluh mulas-mulas.
Tiba-tiba keluar cairan, oh .... air ketubannya sudah pecah!

****

Di rumah sakit aku begitu gelisah. Bapak ibu yang menungguiku cuma mengeleng-gelengkan kepala. Maklum anak pertama, begitu kata ibu.
Ya Tuhan ... entah kenapa aku tiba-tiba merasa ketakutan yang luar biasa.
Ya Tuhan, selamatkanlah istri dan anakku...., bisikku berulang kali.
"Bapak Saiful Bahri ?" seorang dokter keluar dari ruang bersalin.
"Ya....., saya dokter ..," sahutku cepat. Kuhampiri dokter itu.
"Ada sedikit kelainan, harus dioperasi ......
Suster!, tolong bimbing Pak Saiful untuk mengisi formulir ini....," kata dokter itu.
Aku tersentak kaget! Operasi?!? Astaghfirullah.....
"Tapi ...., istri saya tidak apa-apa 'kan dokter??" tanyaku khawatir.
Dokter itu terdiam. "Berdo'alah ...," katanya pelan.
Kugigit bibirku erat-erat. Tuhan ..., selamatkan istri dan anakku......
Kuambil wudhu dan sholat di musholla. Kuhabiskan gelisahku disana.
Tiba-tiba terdengar tangis bayi. "Anakku ....," desisku perlahan.
Aku seperti dituntun nuraniku.

Bergegas keluar musholla. "Bapak Saiful Bahri?"
"Ya, dokter ..."
"Selamat, bayinya perempuan, sehat, tiga setengah kilo, cantik seperti ibunya.....," kata dokter itu.
"Alhamdulillah ...," desisku berulang-ulang.
"Istri saya dokter ?"

Dokter itu terdiam. Tiba-tiba ada perasaan tidak enak menjalar di segenaphatiku.
Kutatap mata dokter itu dengan tatapan penuh tanya.
Tiba-tiba dokter itu menepuk bahuku perlahan, sementara kepalanya pun menggeleng perlahan pula.
Mulutku ternganga seketika ....

"Maafkan...., saya sudah berusaha. Tapi Tuhan menghendaki lain......," katanya.
Air mataku berloncatan tanpa bisa dibendung....
Dokter itu perlahan membimbingku masuk ke ruang bersalin. Aku menurut saja tanpa rasa.
Sesosok tubuh ditutup kain putih terbaring....
Perlahan dokter itu membuka kain penutupnya.

INNALILLAHI WA INNAILAIHI ROJI'UUN...

Wajah Ghozzan terlihat pucat. Tapi bibirnya tersenyum manis ..., maniiis sekali.
Kudekap kepala Ghozzan erat-erat ...., tangisku tak tertahankan.....

"Sabar .... sabar ...Pak ...," hibur dokter itu.
"Suster, bawa kemari , anak Bapak Saiful ...," katanya lagi.

Seorang bayi mungil yang masih merah disodorkan ke hadapanku.
Perlahan...ku gendong dan kutatap ia ....
Dadaku masih sesak karena tangis. Kutatap bayi merah itu dan Ghozzan berganti-ganti.
Mereka begitu mirip. Matanya..., hidungnya..., mulutnya..., Allah Akbar!!!

Rupanya inilah hikmah itu, Ghozzan...., ALLAH memberi kesempatan padaku untuk menemanimu selama empat tahun, untuk akhirnya memanggilmu setelah ia memberikan gantinya....

Ya, ALLAH jangan biarkan hatiku berandai-andai.....
seandainya saja kami tidak mengharapkan anak, jika itu membawa kematian Ghozzan ....
Tidak, ini semua takdir Mu ya Robbi ....

SELAMAT JALAN GHOZZAN ............................

By :wanna

Ikatkan Sehelai Pita Kuning Bagiku...

Pada tahun 1971 surat kabar New York Post menulis kisah nyata tentang seorang pria yang hidup di sebuah kota kecil di White Oak, Georgia, Amerika. Pria ini menikahi seorang wanita yang cantik dan baik, sayangnya dia tidak pernah menghargai istrinya. Dia tidak menjadi seorang suami dan ayah yang baik. Dia sering pulang malam-malam dalam keadaan mabuk, lalu memukuli anak dan isterinya.

Satu malam dia memutuskan untuk mengadu nasib ke kota besar, New York. Dia mencuri uang tabungan isterinya, lalu dia naik bis menuju ke utara, ke kota besar, ke kehidupan yang baru. Bersama-sama beberapa temannya dia memulai bisnis baru. Untuk beberapa saat dia menikmati hidupnya. Sex, gambling, drug. Dia menikmati semuanya.

Bulan berlalu. Tahun berlalu. Bisnisnya gagal, dan ia mulai kekurangan uang. Lalu dia mulai terlibat dalam perbuatan kriminal. Ia menulis cek palsu dan menggunakannya untuk menipu uang orang.
Akhirnya pada suatu saat naas, dia tertangkap. Polisi menjebloskannya ke dalam penjara, dan pengadilan menghukum dia tiga tahun penjara.

Menjelang akhir masa penjaranya, dia mulai merindukan rumahnya. Dia
merindukan istrinya. Dia rindu keluarganya. Akhirnya dia memutuskan
untuk menulis surat kepada istrinya, untuk menceritakan betapa menyesalnya dia.
Bahwa dia masih mencintai isteri dan anak-anaknya.
Dia berharap dia masih boleh kembali. Namun dia juga mengerti bahwa mungkin sekarang sudah terlambat, oleh karena itu ia mengakhiri suratnya dengan menulis, "Sayang, engkau tidak perlu menunggu aku. Namun jika engkau masih ada perasaan padaku, maukah kau nyatakan? Jika kau masih mau aku kembali padamu, ikatkanlah sehelai pita kuning bagiku, pada satu-satunya pohon beringin yang berada di pusat kota. Apabila aku lewat dan tidak menemukan sehelai pita kuning, tidak apa-apa. Aku akan tahu dan mengerti. Aku tidak akan turun dari bis, dan akan terus menuju Miami. Dan aku berjanji aku tidak akan pernah lagi menganggu engkau dan anak-anak seumur hidupku."

Akhirnya hari pelepasannya tiba. Dia sangat gelisah.

Dia tidak menerima surat balasan dari isterinya. Dia tidak tahu apakah isterinya menerima suratnya atau sekalipun dia membaca suratnya, apakah dia mau mengampuninya?
Dia naik bis menuju Miami, Florida, yang melewati kampung halamannya, White Oak. Dia sangat sangat gugup. Seisi bis mendengar ceritanya, dan mereka meminta kepada sopir bus itu, "Tolong, pas lewat White Oak, jalan pelan-pelan...kita mesti lihat apa yang akan terjadi..."

Hatinya berdebar-debar saat bis mendekati pusat kota White Oak. Dia
tidak berani mengangkat kepalanya. Keringat dingin mengucur deras. Akhirnya dia melihat pohon itu. Air mata menetas di matanya...

Dia tidak melihat sehelai pita kuning...

Tidak ada sehelai pita kuning....

Tidak ada sehelai......

Melainkan ada seratus helai pita-pita kuning....bergantungan di pohon beringin itu...Ooh...seluruh pohon itu dipenuhi pita
kuning...!!!!!!!!!!!!

Kisah nyata ini menjadi lagu hits nomor satu pada tahun 1973 di
Amerika. Sang sopir langsung menelpon surat kabar dan menceritakan kisah ini. Seorang penulis lagu menuliskan kisah ini menjadi lagu, "Tie a Yellow Ribbon Around the Old Oak Tree", dan ketika album ini di-rilis pada bulan Februari 1973, langsung menjadi hits pada bulan April 1973. Sebuah lagu yang manis, namun mungkin masih jauh lebih manis jika kita bisa melakukan apa yang ditorehkan lagu tersebut,...

If God always forgive you,.. will you forgive the others ? .. think wisely
.. !!!.


By : _irf3

Friday, July 08, 2005

Menipisnya Ibadahku

Assalamu'alaikum kamarku tersayang. Kembali aku pulang ke tempat kos ini seperti biasa, capek sekali seharian ini aku bekerja, jam 8.00 pagi sampai jam 5 sore. Kapan aktifitas ini akan berubah.

"Ya Allah, capeknya aku hari ini." Kasur empuk itu menggoda sekali, tapi aku harus mandi dan shalat Maghrib.
"Ada BAJAJ BAJURI, lihat TV dulu ah..." Aku pun nonton serial TV yang paling banyak ditonton ini.
"Masya Allah sudah jam 7 kurang seperempat, aku mau mandi ah..."

Aku pergi mandi dan shalat Maghrib jam 7, nggak lama aku dengar suara Adzan Isya', "Ya... Allah pinginnya hati ini berdzikir, tapi males sekali meski di mukena ini sangat enak sekali rasanya seperti Engkau memeluk aku. Tapi setan kamar ini kuat sekali, coba kamu jangan ganggu aku dulu setan. Sudahlah aku baca novel aja dulu sambil nonton TV... Shalat Isya'-nya entar aja.

KUBAH... Sebuah novel yang dipinjami teman sekantor dan sudah seminggu ini aku baca tapi nggak kunjung selesai, berharap malam ini bisa aku selesaikan.

Enaknya berbaring begini badanku rasanya remuk semua, aku sudah nggak tau lagi kapan terakhir aku mengingat Allah tepat waktu, enteng sekali sekarang aku meninggalkan waktu shalat, sejak aku putus sama pacarku, dan dia sekarang sudah menikah dengan orang lain. Atau kapan ya Sekarang ini aku benar-benar sedang tersesat.

"Ya Allah, sayangnya Engkau padaku, sehingga Engkau jauhkan dia dariku, indahnya anugerah kasih sayang cinta ini. Engkau berikan sampai Engkau menjodohkan dia dengan orang lain. Apakah akan bahagia seandainya aku yang berada di sisinya menjadi istrinya. Aku hanya bisa berdo'a semoga semua ini memang yang terbaik untuk kami berdua, semoga istrinya sekarang mencintai dan menyayangi dia sebesar rasa sayang cinta yang Engkau bersitkan di hatiku untuknya.

Ya Allah, lelahnya badan ini, hati ini untuk meniti hidup ini sendiri terus. Kapan Engkau akan memberi aku kepercayaan untuk menjadi istri yang shalehah, berbakti kepada suami yang menyayangi aku, keluarga, dan semua orang disekelilingku. Kapan mimpi itu akan menjadi suatu kenyataan."

Novel ini bikin ngantuk mataku, di TV semua acaranya pada sinetron sih. Sekarang orang-orang TV nggak ada yang kreatif membuat acara TV.

Jam 9.00 malam, cepet banget jam itu berputar, aku belum shalat Isya', nggak apa-apa lah nanti aja shalatnya, lebih baik sekarang aku pejamin mata dulu aja. "Bismillahirahmanirrahim. Bismika Allahumma ahya waa bismika 'amut... Ya Allah, aku titipkan jiwa ragaku pada saat aku tidur, berikanlah aku mimpi baik, jauhkanlah dari mimpi buruk, bangunkanlah aku nanti jam 1 karena aku masih punya kewajiban shalat Isya' sekaligus Tahajjud...".



***


Aduh wekerku bunyi pasti sudah jam 1, tapi masih jauh dari pagi, lima menit lagi deh aku tidur mungkin akan hilangkan kantukku. Ya Allah, jauhkanlah setan tidur ini dari tempat tidur ini dan mata ini. Aku ini yang setan atau memang ada setan di kamar ini. Kenapa berat sekali sekarang aku bangun malem.

Jam 2.30 sudah. Aku bangun dan bergegas ke kamar mandi ambil air wudhu', aku belum shalat Isya'nih.

Idih... malesnya dzikir apalagi shalat tahajjud. TV itu kayaknya minta ditonton. Ya sudahlah, aku ada makanan nggak ya di kulkas? Besok aku mau puasa deh, mencoba dari awal menahan hawa nafsu lagi.

Aku yakin ini adalah cobaan dari Allah. Sebulan ini nggak ada yang aku lakukan kecuali kerja, pulang ke kos, nonton TV, menunda shalat tepat waktu, meninggalkan Tahajjud dan Dhuha. Kemana rutin ibadahku aku juga nggak tau. Tiba-tiba sekarang baru sadar rutinitasku telah berubah, cobaan yang ini begitu berat, sulit sekali mengembalikan ibadah rutinku. Dalam do'a aku selalu memohon untuk ditetapkan iman, ihsan, dan Islam. Tapi sekarang aku berada diantara kesesatan.

"Kenapa ya Allah? Apa yang tersembunyi dibawah alam sadarku. Hamba sadar semua ibadah menjadi sia-sia kalau hamba seperti ini terus. Tapi setan di kamar ini begitu kuatnya. Tolong ya Allah, tolong hamba ini. Tipis sekali ibadahku dalam satu bulan ini. Kembalikanlah kembali kepadaku. Kembalikan shalatku, puasaku, amalku, kembalikan padaku. Golongkanlah aku ke dalam golongan orang-orang shaleh dan shalehah yang Engkau ridho'i."

Adzan Shubuh membuyarkan semuanya. Aku harus mandi, shalat dan pergi ke kantor. Aktifitas pagi yang satu ini alhamdulillah belum berubah.

Do'aku tentang kemalasan dan kesesatan di alam setan akan terhapus hari ini. Mundurnya ibadahku, tipisnya ibadahku akan berakhir hari ini. Aku akan memulai pagi ini dengan shalat shubuh tepat waktu, kembali ber-Dhuha dan bekerja untuk beribadah. Dan akan menjalankan rutinitasku sebagai muslimah dengan istiqomah. Semoga setan keluar dari kamar ini, rumah kos ini, dan paling penting dari dalam diri dan hati ini.

From :syahidah

Saturday, June 25, 2005

“Segala sesuatu tergantung bagaimana kita memandangnya”

Baru saja aku bongkar-bongkar “kotak ajaib”ku, mencari bollpoint. Seingatku aku masih nyimpen beberapa bollpoint di situ. “Kotak ajaib”. :). Mungkin pas sebutan ini, meski hanya untuk sebuah kotak kardus kotak sepatu hehe. Tempatku meletakkan beberapa benda lama yang entah napa juga masih saja aku ngerasa sayang ngebuangnya. “Kotak ajaib”. Di sini pula sering kutemukan ‘suatu benda’ yang kupikir sudah entah ada dimana. :). Termasuk secarik kertas loosleaf ini. Sebuah puisi. Aku ingat puisi ini kusalin dari lembar Motto dan Persembahan di skripsi si Retno alMadurii, hehe arek Madura itu maksud`e. :). Lembar Motto dan Persembahan. Tak jarang justru menjadi bagian yang lebih menarik dilihat dan dibaca lebih dulu daripada bagian intinya. Kerna kadang dari sini bisa iseng menebak-nebak “sosok” si penulis. :).
***
Ketika kumemohon kepada Allah kekuatan,
Aku dihadapkan dengan kesulitan agar aku kuat.
Ketika kumemohon kepada Allah kebijaksanaan,
Aku dibentangkan masalah untuk kupecahkan.
Ketika kumemohon kepada Allah kesejahteraan,
Aku dianugerahi akal untuk berpikir.
Ketika kumemohon kepada Allah keberanian,
Aku diantarkan dalam kondisi bahaya untuk kuatasi.
Ketika kumemohon kepada Allah bantuan,
Aku diberi kesempatan.
Aku tidak mendapat semua yang kupinta,
Tetapi aku memperoleh semua yang kubutuhkan
***
Subhaanallah. Satu kesadaran “memaksa” hatiku bertasbih. Betul juga. Betapa sering aku merasa pintaku tak jua berjawab. Ya Rohman, bukankah telah selalu Kau limpahi aku segala yang kubutuhkan.
Metode tarbiyahMu memang sungguh luar biasa. Robb, laa ilaaha illa Anta. Subhaanaka innii kuntu minadzdzoolimiin. Ighfirlii ya Robb… ighfirlii…
SkenarioMu (memang) sungguh luar biasa indahnya ya Rohman. Engkau selalu mempunyai jalan dan cara tersendiri dan sungguh unik dalam mentarbiyah hamba-hambaMu. Segala macam ujian, kesenangan, kelapangan, pun terutama kesusahan, kesempitan, ketakutan, atau apapun itu, yang Engkau berikan pada kami, adalah sarana untuk mendewasakan kami, menjadikan kami untuk lebih baik dari detik ke detik yang kami lewati.
Kami diperlihatkan, dipertemukan dan dihadapkan pada suatu situasi yang ‘menuntut’ kami untuk bisa memanfaatkan dan mengerahkan seluruh potensi yang telah Engkau karuniakan pada kami. Akal, pikiran, hati. Untuk menjawab, menyelesaikan dan atau at least mengambil hikmah dari situasi itu.
***
Ya Rohman…
Beruntunglah orang yang mendapatkannya dan mampu menangkap isyarat yang ada.

***
Robbii auzi’nii an asykuro ni’matakallatii an’amta ‘alayya wa ‘alaa waalidayya
wa an a’mala shoolihan tardhoohu
wa ad-hilnii birohmatika fii ‘ibaadikashshoolihiin

*****
Gamping 12.01.1426H
Kala Sunyi Selimuti Hati, Hangat SinarMu Beningkan Qalbu
[Marching Band TK ABA dekat rumah memainkan sebuah tembang masa bocahku “Yo prakanca, dolanan ing (n)jaba. Padang (m)bulan, padhange kaya rina. Rembulanne ne, sing (ng)awe-awe. Ngelingake aja padha turu sore”]


By : Nr_Ang

Monday, June 20, 2005

ternyata???!!!

Di suatu sore, tepatnya satu-setengah bulan yang lalu aku iseng men-down-load sebuah software yang biasa dipergunakan untuk chating, awalnya aku fikir sekedar iseng sajalah mumpung ada fasilitas dan bayarnya ngga terlalu mahal. Setelah kurang lebih satu jam, proses down-load pun selesai dan aku fikir, “ah ngga ada salahnya kalau aku coba…” akhirnya jadilah sore itu, sore pertama buat aku chating dengan fasilitas pribadi alias ngga perlu ke warnet.
Pada saat chating berlangsung, aku bertemu dengan seorang akhwat, nick-name nya (rahasia…lah yaa..) dia begitu baik dan umur kami hanya terpaut beberapa tahun, dari obrolan yang biasa, akhirnya kami sampai ke pembicaraan yang menuju ke arah pribadi, ya aku fikir sah-sah saja kan, toh ‘we didn’t know each other’ begitu fikirku waktu itu. Akhirnya kami memberikan nomor telepon kami masing-masing dan kami berjanji akan sering bertukar cerita baik lewat telepon ataupun lewat e-mail.
Hari-hari selanjutnya hubungan kami berlangsung lebih akrab, ternyata dia sosok yang ramah, juga lucu, berbeda dengan yang aku duga sebelumnya, tapi kadang dia juga bisa sangat dewasa menanggapi masalah-masalah ku. Mmm…buat aku dia adalah sosok yang sempurna. Tapi, mengingat hubungan kami hanya lewat dunia maya, which is phone and e-mail only, aku fikir ya ngga mungkin lah ya………..
Hari pun berganti, e-mail masih sering berdatangan, telpon masih kunjung hadir, tapi… hati ini tak kunjung jemu menerimanya, tak kunjung bosan membaca e-mail darinya, ya Allah… apa gerangan yang terjadi dengan hatiku ??? batinku.
Yang paling aku suka adalah, sewaktu kita bertukar cerita, cara dia berbicara, cara dia bertutur kata, dan dari cerita-ceritanya itulah aku mengambil sebuah kesimpulan bahwa dia sungguh sosok yang menurut aku sesuai seperti apa yang pernah aku harapkan. Dan sepertinya semakin sering aku bertukar cerita semakin bertambah kekagumanku padanya, awalnya aku hanya menganggap dia teman biasa, tetapi…ko’ lama-lama…aku jadi berfikir, mungkin tidak ya, kalau dia aku jadikan calon…mmm…teman-sejati ku kelak.
Aku pun pernah berfikir, sepertinya dia memberi angin kepadaku, tak jarang sikap care-nya jelas tertunjukkan kepadaku, ah.. tapi mungkinkah…..??? hari-hari berikutnya pun datang, saat rasa jemu itu hinggap, betapa menyenangkannya saat itu, aku tidak pernah lagi memikirkan dia, atau menelpon dia, bahkan e-mail yang datang pun kerap aku biarkan, sampai-sampai aku berfikir “ini mungkin akhir hubunganku dengan dia, “ tapi selang beberapa hari kemudian, another e-mail come disusul dengan telepon yang juga hadir, ya Allah… ternyata hal itu cukup untuk mengembalikan riduku hadir kembali untuknya, akhirnya niat yang sudah ku-azzam-kan dalam hati luntur sudah, sungguh aku tak bisa lepas dari perhatiannya, dan tidak bisa kupungkiri, bahwa dia sudah jauh mengisi hatiku.
Akhirnya aku memutuskan untuk melanjutkan hubungan ‘maya’ kami, entah sampai kapan atau sampai di mana akhirnya, aku akan terima, lagian aku fikir “selama kami belum bertemu satu sama lain, tidak akan terjadi penyakit hati diantara kami” lha…memangnya kalau begini dibilang apa ya ???
Sebetulnya, aku sendiri pernah berfikir tentang posisi dia di dalam diriku, sebagai apa ya….kadang aku sangat ingin ngobrol sama dia, bayangkan durasi telpon kami bisa sampai kurang lebih dua jam lho….entah rasa apa yang membuat kami senang bicara satu sama lain. Mulai dari kisah-kisah sederhana sampai kisah yang paling menyedihkan atau menyenangkan yang terjadi di dalam hidup kita masing-masing. Setelah dengan itu kami juga tak jemu untuk kembali chating, atau berkirim imel yang bisa dibilang panjang. Dan tidak jarang pula hati kami berhubungan, antara satu sama lain. Baik aku atau dia sama-sama aneh, aku selalu menganggap dia itu teman baikku. Tapi apakah benar hanya segitu….??
Sampai tiba saatnya di mana hari yang aku tunggu tiba, hari dimana aku akan dengan gamblang menjelaskan tentang perasaanku kepadanya, dan aku akan dengan segenap hati siap mendengar apapun perkataan serta jawaban dari dirinya.
Hari itu seperti biasa aku menelpon dia, untuk menentukan jadwal chating kami. Tetapi, ko tidak biasanya dia tidak ada di rumah pada jam-jam biasa aku telpon seperti ini, akhirnya aku tunggu hingga keesokan harinya, aku fikir mungkin dia ada keperluan, ya sudah aku tunggu saja imel darinya fikirku, tetapi…hari berganti hari, hingga sampai bilangan yang ke tujuh aku menghitung hari, baik imel ataupun telpon tidak pernah kunjung datang darinya untukku. Ah…gerangan apa yang terjadi padanya, batinku….rasa cemas sudah mulai menjalar di dalam hatiku, aku sendiri sebetulnya sudah mulai gelisah dengan kondisi hatiku sendiri, aku mulai berdiskusi dengan teman-temanku tentang perasaan galau ini, sampai akhirnya teman-temanku memutuskan bahwa, kalau memang aku sudah yakin bahwa dia itu jodoh yang tepat, maka katakanlah secepatnya dan jangan lagi mengulur waktu, dan memperburuk hatimu.
Maka dengan keputusan yang sudah bulat aku menelponnya, pada hari itu juga, sayangnya sebelum pembicaraan kami berlangsung serius dan sampai pada inti permasalahan sebenarnya, hubungan via kabel itu terputus.
Keesokan harinya aku berinisiatif untuk membuka imel ku, ah siapa tau ada imel baru entah dari dia atau dari rekanku yang lain, kubuka website tempat imel ku bercokol, kuketikkan nama dan password ku, lalu masuklah aku ke dalam mail bok, yang memberitahukan bahwa ada satu pesan yang belum aku baca. Segera saja aku klik pesan tersebut, lalu.......
>assalamu'alaikum wr wb
>alhamdulillah wa syukurillah, aku bisa kembali berada disini, setelah satu minggu lebih aku harus berdiam diri di rumah sakit (kemarin waktu kamu telpon aku baru pulang lho....J ), afwan aku tidak bisa memberi tahukan tentang keadaanku yang sebenarnya, sebetulnya sudah sejak lama aku ingin membicarakan hal ini kepadamu sahabatku, tapi hati ini belum mengijinkan dan rasanya diri ini merasa belum perlu untuk mengutarakannya.
Setengah berdebar rasanya aku melanjutkan membaca imel itu, gerangan apa kalimat selanjutnya, jangan-jangan dia juga hendak mengutarakan hal yang sama seperti yang hendak aku utarakan, wah kalau begitu aku dengan sangat senang menyambutnya, aku akan menjadi seorang suami yang baik, aku janji....batinku sebelum selanjutnya aku meneruskan membaca imel tersebut.
>kamu tau, sejak pertama bertemu denganmu aku merasa kembali menemukan sahabatku yang hilang, yang pernah aku punya sewaktu masa-masa smu dulu. Dan harus aku akui, kamu adalah teman chating yang terbaik yang pernah aku temui, kamu tidak langsung menodong aku dengan pertanyaan bertubi-tubi seperti asl pls, atau yang lainnya, eh jangan gr dulu ya...:)
>tapi justru itu yang membuat aku berani melanjutkan hubungan persahabatan kita, karena aku fikir semua itu kan didasari atas ketulusan hati, bahkan seharusnya didasari oleh kejujuran diantara kita satu sama lain, oleh karena itu mungkin sekarang saatnyalah untuk aku berani berterus terang tentang aku yang sebenarnya (yang sangat penting yang kamu tidak pernah tahu sebelumnya) tanpa harus ditutup-tutupi. Bukankah begitu sebaiknya ???
perasaanku semakin tidak menentu, aku semakin tidak sabar untuk melanjutkan ke kalimat berikutnya, apa sih sebenarnya yang sangat penting yang aku tidak tahu dari dia ??? fikirku.
>kamu tahu, mengapa kemarin aku sampai masuk rumah sakit ??? hayo tebak, kamu pasti kaget deh, atau mungkin terlonjak gembira..... aku kasih petunjuk deh..... kamu akan menjadi seorang uncle......hahaha....surprise !!!! ngga nyangka kan ???
>sebenarnya aku sudah menikah satu setengah tahun yang lalu, waktu itu usiaku baru dua puluh, sangat muda memang tapi aku mencintai suamiku, dan dia pun begitu, kami membina rumah tangga atas dasar cinta karena Allah, sewaktu kandunganku berusia lima bulan, suamiku mendapat beasiswa untuk melanjutkan s2 nya ke luar negeri, karena mengingat usia kandunganku yang masih muda, maka aku ditinggal di sini bersama ke dua orang tuaku.
Dadaku seperti mau meledak rasanya membaca kalimat itu, seperti ada ribuan ton batu menindih relung hatiku, berat sekali rasanya..... tapi apa daya rasa penasaran membuatku kembali melanjutkan membaca kalimat berikutnya.
>untuk menghemat biaya komunikasi antar benua, aku berhubungan lewat internet dengan suamiku, nah.... pada saat itulah aku bertemu dengan kamu sahabatku, sahabat yang selalu menghiburku, yang selalu mengalirkan cerita-cerita lucu, dan selalu memberiku semangat dalam menghadapi masalah-masalah psikologis yang timbul akibat kandunganku (maaf ya masalah yang tidak bisa aku beritahukan sebenarnya waktu itu adalah masalah ini ) dan masih banyak lagi hal-hal lain yang aku dapat dari kamu.
>terima kasih ya, kamu sudah menceriakan hari-hari ku, kamu sudah sangat baikkkk sekali sama aku, nah untuk itu, aku dan suamiku mengundang kamu bulan depan minggu kedua hari sabtu, untuk menghadiri acara aqeqah anak kami, sekaligus suamiku ingin bertemu dan berterimakasih atas semua bantuan moril yang pernah kamu berikan padaku (dia khusus pulang untuk acara itu dan untuk bertemu kamu lho...). kamu mau kan ??? mau dong ya.... aku juga ingin sekali lho bertemu dengan kamu sahabatku. Di dunia nyata tentunya….:)
>sudah ya segitu dulu penjelasan panjang lebar ku, kalau kurang lengkap kamu boleh telpon dan menanyakannya langsung padaku. Aku tunggu kabar darimu sahabatku.
>wassalamu'alaikum wr wb
Dengan langkah gontai kususuri pelataran parkir tempat aku menempatkan motorku, hancur sudah semua mimpi-mimpi yang telah kubangun. Semangat empat lima hangus sudah, rasa sesal sekaligus geli menyusup ke ruang hatiku, untung aku belum sempat jujur fikirku, ya Allah….ternyata !!!

Bidadara friendster

SIANG bolong, matahari memang tidak pernah bisa diajak kompromi, panasnya memekik ngeri. Kurasakan kering kerontang bukan hanya ditenggorokan, bahkan merambah hingga pintu jantungku.
Hari ini pun tidak seperti biasanya, wajahku kusut semerawut, jilbab yang terjulur menutupi seluruh tubuh sudah tidak beraturan lagi, kelibaran kesana kemari. Seragam putih abu abupun kukenakan asal, tidak serapih kemarin. Celaka! Predikatku sebagai satu satunya gadis religi smu terfavorit dikotaku, terancam hilang dalam sekejap mata. “Ah…,Tidak!” Benar benar tak bisa kubayangkan.
“Pak Karna…,Pak Karna…!” Teriakku dari kejauhan, memanggil manggil lelaki setengah baya, beliau mengenakan pakaian yang sudah berumur, sungguh terlihat usang.
Aku berlari menghampirinya, menyusuri lorong gelap sekolah, memastikan langkahku untuk segera tiba menuju suatu beranda yang tiap hari aku kunjungi, Lab internet…,
“Huh…Huh…Huh…”
Aku berusaha menenangkan diri,dan serta merta mengatur nafasku yang masih tersengal sengal.
“Aya naon geulis? Meuni katingal buru buru kitu?”
“Hehe…ah,bapak mah! Sok api api teu terang kitu? Biasa pak…,biasa!”
Pak Karna adalah penjaga sekolah disekolahanku, pemegang kunci seluruh ruangan kelas. Senyum yang tergurat diwajahnya terlihat ramah, sangat khas untuk menandakan kesederhanaannya,dan sesosok figure yang penyayang. Khususnya kepadaku Viani Artalestari, yang sudah dianggapnya malaikat kecil kesayangan.
Ehm, asyiknya! Apapun yang Aku minta,pasti beliau turuti. Pernah suatu hari, tanpa sengaja aku datang terlambat kesekolah. Namun syukurlah, batang hidung Pak Karna telah nampak, menungguku di pintu kecil rahasia, dan yess! Aku tertolong dari kejaran Bu Iceu. Guru piket yang sadis, galak, apabila matanya mendelik, dunia rasanya mau kiamat. Pokoknya nyebelin sesekolahan! Lebih tragisnya lagi, bila memberikan hukuman tiada terkira, bisa gempor, jatuh bangunnya selama seminggu.
“Oh…iyeu atuh Geulis, sik mangga atuh candak, Tapi ulah hilap nya? Sajamna lima rebu rupiah,bageur.” Ujar pak karna ramah,sambil menyodorkan kunci lab internet kepadaku.
“Ah…,bapak mah sok ngabodor wae, hatur nuhun nya pak?”
jawabku sembari memperlihatkan senyuman manja dan lirikan mata yang cukup menggoda.

***

LAB internet yang berada diarea sekolahku, letaknya cukup jauh dengan ruang kelas yang lain. Lokasinya paling ujung, bersebelahan dengan toilet anak anak perempuan.
Fuihh…,bisa kebayang situasinya seperti apa? Namun aku tidak mau memusingkan semua persoalan yang cukup pelik itu, yang penting udah gretongan itu sudah cukup! Lagipula bila setiap hari aku harus mampir warung internet, uang jajanku bisa ludes terkuras, untuk sesuatu yang tiada berguna.
Biasanya Aku mengunjungi lab itu, ketika siang hari, sehabis pelajaran berakhir…, dikala arus siswa siswi lowong melompong, dan tempat sudah tak terpakai lagi, sunyi senyap merayap…,
Tidak aneh lagi, yang pertama kali aku buka hanyalah situs www.friendster.com, selain #MIRC…, justru karena friendsterlah, yang akhir-akhir ini meradang di kalangan remaja, Aku jadi rajin ke lab internet…,
Dasar demam friendster!!!

***

JARI jemari ini, kurasakan semakin lincah, menari nari diatas keyboard komputer : viani_artalestari@yahoo.com , password -----,
Log-in klik !
Hatiku masih berada dibawah alam kebimbangan, semua rasa bercampur jadi satu bak gado gado yang sudah menyatu dalam perut kosong. Bagaimana via tidak bimbang? Sudah sebulan ini, Aku sering dikejutkan oleh pesan pesan cinta dari seorang cowok misterius, yang meng-invite diriku suatu hari. Tiada identitas yang jelas dari lelaki itu, fotopun tiada. Dia hanya mengaku teman satu sekolahku dan ‘secret admirerku’ sedari dulu.
“Hah?!?...,Secret admirer???”
Aku hanya memekik geli, seolah tak percaya bahwa ada seseorang yang diam diam mengagumiku.
“ Plis deh…,Viani githu loch, mana ada pengagum rahasiaku!”
Dalam pikiranku hanya terlintas sebuah nama, Adjie Kusuma, anak 3 IPA 2. Karena hanya dialah teman cowok satu satunya yang aku miliki. Seluruh penghuni sekolah mengetahui bahwa kami sahabat sejati, bagai mata rantai yang tak bisa dipisahkan satu sama lain. dimana ada Aku, disitu pasti ada adjie. Ck,kayak gula dan semut yah?
Adjie, orang yang paling jail yang pernah Aku temui, tinggi, putih, bersih, proposional, dia atlet baseball tingkat nasional, selalu jadi uberan cewek cewek penggoda disekolah. Namun terkadang Aku risih melihat kelakuan Adjie, cenderung kelewat batas.
“ukh…Dasar bodoh! Sama gatelnya meladeni cewe cewe itu”
Lantas siapa cowok misterius yang ada dibalik friendster???
“Oh…MG (Oh..My God..)!!!”
Inbox messageku penuh dengan kata kata yang membuat aku bergidik ngeri. Aku tutup mataku rapat sekali, tanpa berani menatap. Namun akhirnya, ku kumpulkan seluruh keberanianku, kubuka mata lebar lebar, dan perlahan aku mulai melahap tuntas setiap kata yang tertera…,

Ketika baratku tersenyum…
Kumeraba hatimu,adakah namaku disitu ?
Aku ingin tertawa,untuk sesuatu yang berharga
Betapa secercah cinta hadir dipelupuk asa!

Aku memilikimu,
Dan itulah mutiara yang aku dapat

Aku kan terus coba memahamimu,
Hingga senja,tlah lenyap dari barat!
-end-

Via…kau tlah sapukan kabut dalam mataku,
Kau tlah jauhkan mendung dari dasar hatiku,
Ingin kurengkuh bayangmu nun jauh disana?
Ingin kutepis sgala angan yang ada,
Namun apalah daya…kuhanya insan biasa!
-end-

selebihnya,masih ada 38 pesan lagi pesan buaian lain yang dikirimkan cowo misterius itu kepadaku.
“siapa sih ni orang?? Ga ada kerjaan lain apa? Truz maunya apa?”
Sesaat Aku mengernyitkan dahi, dan berharap mendapatkan seberkas jawaban atas teka teki yang aku temui.
“Doorr!! Hey, non..,jangan ngelamun aza…,ntar kesambet loh!”
“yey… sapa yang ngelamun? Lagian masuk gak ketuk dulu, sopan yah? Truz mo ngapain kesini??”
“ya mau on-line lah, emang ini lab, punya eyang loe??”
Lomba debat kembali dimulai, Aku dan Adjie memang selalu begitu, kerap kali kami bertemu, kayak kucing dan anjing.
“djie…,cowok itu kirim pesan lagi.”
“cowok yang mana maksud loe?”
“yang di friendster djie…,cowok misterius itu?? Gw takut djie.”
Adjie tampak iba mendengar ungkapanku yang naas itu. Yah, meskipun kadang kala adjie terlihat jengkel dengan sikapku yang katanya selalu nyeleneh, lain daripada yang lain. Aku itu gadis yang unik, pikirnya. Bagaimana tidak unik? Disekolah hanya aku yang memandang sesuatunya dari segi agama. Genggaman tangankupun tidak pernah terlepas dari Rahma, gadis kutu buku, berkacamata tebal, rambut hitam legam, panjang dikepang dua, udik banget deh! Namun baik hati, selalu menemaniku sebagai penengah, bila Aku sedang bersama adjie. Kasihan Rahma, selalu jadi kambing conge. Habis mau gmana lagi?
Aku pasti protes kalau rahma tidak mengiringiku. kalau hanya jalan berdua dengan adjie, kan bukan muhrim! takut terjadi hal hal yang ‘diinginkan’,he. Lagipula Aku takut kalo nantinya adjie berbuat yang macam macam padaku, bisa fatal!!!
“Hah?!? Maksudnya apa??” Adjie hanya ternganga mendengar pernyataanku yang semakin ngelantur itu. Adjie menatapku bulat bulat, dengan lirikan matanya yang khas, terkesan dingin! Dan memamerkan wajah jayusnya. Dasar miss fanatik!!! Ga Banget deh!!! Adjie berdelik ilfil kearahku.

***

BEBERAPA minggu berlalu, Aku masih dikejutakan dengan teror teror dari lelaki di balik friendster misterius itu.
“Ehmmm…,dasar cowok ceroboh bin pikun! Lupa Log-out dari friendster ndiri”
Gumamku dalam hati, tanpa sengaja membuka friendster milik sahabatku, Adjie. Namun entah kenapa, aku dipicu oleh rasa penasaranku yang semakin menggilai untuk segera membongkar seluruh isi friendster itu. Tanganku yang gatal langsung menyerbu keyboard komputer dan meraih mouse disebelah kanan komputer, dengan asyiknya Aku lalu mengotak atik seluruh isi friendster itu.
“AstaghfirullahalAdzim…,penggalan puisi itu??”
Aku tersentak kaget, ketika menemukan sebagian penggalan teror puisi cinta,yang sering Aku dapatkan ada di friendster itu. Putaran waktu seakan berhenti mendadak seketika itu juga, nafasku sesak, dadaku pengap! cowok misterius itu, ternyata….???

Bandung, Maret 2005

Catatan :
Aya naon, Geulis? : Ada apa, Cantik?
Meuni katingal buru-buru kitu : Kok terlihat buru-buru
Sok api-api teu terang kitu : Suka pura-pura tidak tahu
Oh, iyeu atuh geulis : Oh, ini, Cantik
Sok, mangga atuh candak : Silahkan saja ambil
Tapi ulah hilap nya? : Tapi jangan lupa, ya?
Sajamna lima rebu rupia : Satu jamnya lima ribu rupiah
Ngabodor wae : Suka becanda
Gretongan : Gratisan

Ketika "Cinta" dikalahkan Cinta

" Ma'af Dit, aku tak bisa ". Suasana seakan tak ada kehidupan, hanya terdengar suara lembut angin yang menusuk pori-pori kulitku. Bukan karena kesunyian yang membuatku terpaku, tapi....
" Dit, anterin ke gramedia yuk ? " suara itu telah menjemputku dari dunia lamunan.
" Eh....siang bolong gini bengong, entar kesambet loh ". Aku hanya membalas dengan senyuman. Hasan, dialah sahabat baruku yang kukenal
dikost ini yang telah membawaku pada perubahan. " Yuk ! " jawabku singkat.
Dalam perjalanan tak henti-hentinya Hasan menggodaku yang dari tadi hanya diam. " Lagi mikirin apaan sih Dit ?, ngelamun mulu ntar cepet tua loh......" mata melotot dan kerut keningnya adalah ciri khas ketika sedang meledekku. " Ga ada apa-apa " hanya senyuman yang terakhir dari kata itu.
" ooo......ya udah klo ga mau cerita ".
Dua bulan sudah kenanganku terkubur, namun kini entah kenapa muncul kembali setelah kemarin malam memimpikan dirinya. Kesunyian malam dan dinginnya malam tak lagi kurasakan karena hangatnya sinar rembulan mulai menemaniku malam itu untuk mengingat kenangan masa lalu. Entah mengapa mata ini sulit kupejamkan, seakan-akan didepanku hadir sesosok wanita yang tak asing bagiku. Dia melambaikan tangan dan bercanda ria dengan temannya.
Dialah gadis yang telah membangunkan cintaku. Sebut saja Rani, dia adalah sahabat Tari teman kampusku. Orangnya asik, mudah beradaptasi dengan teman baru walaupun aku sendiri agak canggung dengan yang namanya perkenalan dengan wanita. Perkenalan trus berlanjut, aku mulai memberanikan diri tuk mengajak dia jalan dan terkadang dia yang memintaku untuk mengantarkannya yang hanya sekedar mencari boneka. Kecanggunganku mulai sedikit hilang ketika dia mulai bercanda denganku dan mulai meminta pendapatku tentang masalah yang dihadapinya. Entah mengapa ketika bersamanya aku seakan-akan menemukan kebahagiaan yang selama ini telah hilang dalam hidupku. Ketika senja tiba, kuingin cepat menggantikan rembulan dengan matahari jika kubisa. Hari demi hari dia tak luput dari pikiranku, walaupun dia bukan satu kampus denganku tapi dia selalu menghubungiku via telpon dan itu membuat rasa rinduku terobati.
*~*
HPku berdering dan kuraih dengan malasnya, " siapa sih pagi-pagi gini ganggu orang yang lagi enak bermimpi " gumamku.
" Halo, Dit " suara itu tak asing lagi ditelingaku.
" Ya halo, ada apa Ran ? " kontan semangat dipagi itu timbul seketika mengalahkan sisa kantukku.
" Dit hari ini ada acara ga ? "
" mmm... kebetulan minggu ini ga ada acara, emang kenapa ? "
" Anterin aku jalan yuk ! " suara manjanya mulai muncul. Aku tersipu mendengar kata-kata itu dan tanpa pikir panjang kuterima ajakannya.
" Ayuk...yuk..., emang mo kemana ? "
" Semangat banget sih, anterin aku cari kado buat keponakanku trus anterin kerumahnya, mau ga ? "
" Boleh...buat kamu apa sih yang ga bisa " entah dari mana aku belajar bergombal terhadap wanita, padahal aku tipe cowo yang sulit berkomunikasi
dengan wanita.
" Ya udah nanti jam 09.00 jemput aku dirumah yah ! daaa... " tut...tut...tut...
Huuuu....... kurebahkan kembali badan ini dengan kegembiraan hati yang terpancar dipagi hari. Tak biasanya aku menyapa sang surya yang menebarkan
kehangatan sinarnya yang memberikan manfaat bagi tubuh manusia. Kegembiraan itu tak akan pernah kuhapus dalam memori kehidupanku.
*~*
Minggu itu aku menjemputnya sesuai permintaan dan aku mengantarkan mencari hadiah untuk keponakannya. Hampir semua toko mainan kami jelajahi dimall itu, tapi tak satupun mainan yang cocok untuk kami beli. Hampir kami putus asa, tapi keputusasaan itu hilang setelah kami melihat sebuah kotak yang berisi boneka yang paling disukai keponakannya. Tanpa ragu kami langsung menuju toko tersebut dan membelinya. Rasa capek, kantuk dan lelah telah menjadi satu, tapi perasaan itu entah mengapa terasa tak begitu pengaruh pada diriku. Sebelum pergi kerumah keponakannya, kami sempatkan untuk beristirahat dicafe dekat kami membeli boneka.
" Akhirnya setelah sekian lama kita mencari ........ fhuuuhhhh ! "
" Sok puitis deh ! " ledeknya sambil tersenyum kecil.
" Eh Ran mau makan apa ? "
" mmm .... aku ga makan deh " jawabnya singkat, mungkin rasa lelah telah menbuatnya kurang berselera makan.
" Ya udah klo gitu aku pesen minuman aja yah ? "
" Ok ! "
Sambil minum kami cerita dan saat itu entah mengapa hati ini mendapat dorongan untuk mengatakan sesuatu padanya.
" mmm......Ran, aku boleh mengatakan sesuatu ga ? tapi .... kamu janji jangan marah yah ? " rasa ragu mulai menyelimuti hatiku, tapi daya dorong ini semakin kuat.
" Tergantung " senyuman dibibirnya membuatku terpaku memandangnya. " Bicara aja lagi Dit, aku ga marah asal jangan bilang kalau kamu ga bisa anterin aku kerumah keponakanku, soalnya dari sini kan lumayan jauh dan aku udah capek "
" Bukan .... bukan itu, aku pasti anterin kamu kok ! "
" Trus apa dong ? jangan bikin Rani bingung deh "
" mmm ...... Ran mungkin aku konyol mengutarakan perasaan disaat seperti ini, tapi aku tidak bisa membendungnya lagi " ku beranikan tuk memulainya.
" maksudnya ? " kerut keningnya dan tatapan tajam tak luput dari penglihatanku.
" Ran ..... a ... aku mulai suka sama kamu " ku gigit bibir bawahku dan kutundukan pandangan. Tak berani kutatap wajahnya, aku takut melihat ekspresi
wajahnya setelah aku mengatakan hal itu.
Lama tak terjadi kontak bicara diantara kami. Tapi tak lama kemudian .....
" Dit, aku ngerti perasaan kamu, aku jadi merasa bersalah terlalu berlebihan dalam bergaul denganmu sehingga kamu berpikir bahwa selama ini penerimaan ajakanmu dan permintaan untuk mengantarku adalah atas dasar rasa suka padamu. Aku menganggap kamu sebagai sahabatku yang baik yang telah lama kucari selama ini. Kamu mau mendengarkan keluhanku dan menasehatiku. Jadi tak mungkin aku menerimamu sebagai pacarku, aku tak mau kehilanganmu Dit, sebab didalam pacaran ketika rasa cinta telah pudar maka kebencianlah yang berperan dan hal itu tak mau terjadi pada hubungan kita Dit. Jadi aku mohon padamu jadilah sahabatku bukan pacarku. Ma'afkan aku Dit, kamu bisa ngertikan perasaanku ? " penjelasan itu diakhiri dengan senyuman manisnya. Kuberanikan menatap wajahnya walaupun jeritan dan tangisan hati silih berganti. Kubalas senyumannya dan kuberanikan mengomentari.
" Ya sudah kalau itu memang pendapatmu, aku kan coba tuk nerimanya " kupaksakan bibir ini untuk senyum.
" Eh Ran udah sore nih, ntar kemaleman lagi kerumah ponakanmu " cepat kuganti pokok pembicaraan agar rasa sedih ini tak berlarut.
" Kamu ga marah kan Dit ? " dia menarik lenganku yang sudah siap berdiri. Kuanggukan kepalaku dengan senyuman yang berat dibibir.
Dalam perjalanan kerumah keponakannya hingga kembali kerumahnya tak satu katapun aktif keluar dalam bentuk pertanyaan ataupun canda. Hanya sedikit komentar dari setiap kata-kata yang dia berikan.
*~*
Kuayunkan langkahku menuju pintu kamar kostku. Berat, bukan berarti karena aku lelah atau rasa kantukku, tapi setelah kejadian siang tadi kebahagianku
sedikit mulai hilang. Kulihat sebelah kamarku ada kehidupan diwarnai terangnya lampu. " Ada pendatang baru " gumamku tapi tak kupedulikan.
" Assalamu 'alaikum " seketika aku berbalik dengan rasa kaget karena aku sedang mencari kunci kamarku diselingi dengan bayangan-banyangan kejadian siang tadi.
" Ya....Waalaikum salam "
" Ma'af kalau saya mengagetkan kamu, saya Hasan orang baru disini, salam kenal ma'af nama kamu siapa ? "
" nama saya Adit, ma'af yah saya capek jadi nanti aja perkenalannya "
" Ma'af kalau saya menganggu " Senyuman dibibirnya menggambarkan ketulusan hati.
Tanpa ragu ku buka pintu dan segera kututup. Ada sedikit perasaan tak enak pada Hasan karena pembicaraanku tadi yang kurasakan kurang enak didengar, tapi aku membuang perasaan bersalah tersebut. Malam semakin larut tapi kedua bola mataku tak kunjung juga mengantarku pada alam sana. Terdengar suara kehidupan dalam kamar Hasan. Dengan penuh penasaran kuberanikan mengetuk pintu kamarnya sekalian aku mau minta ma'af.
" Ada apa Dit ? " senyuman itu begitu sejuk dipandang.
" mmm... ga, kamu belum tidur San ? "
" Belum, aku tidak bisa tidur malam ini, entah mengapa mungkin karena aku masih baru kali yah dengan suasana baruku ini "
" ooo...." jawabku singkat
" Ngomong-ngomong ada apa nih Dit ? emangnya kamu juga ga bisa tidur ? "
" Aku mau minta ma'af karena jawaban perkenalan tadi tidak mengenakan "
" Ga apa-apa Dit, aku ngerti kok kamu kan tadi baru datang pasti rasa lelahmu yang membuat kamu bersikap demikian "
" Wah nih orang sabar banget, kebijakan dalam berkata bikin kagum setiap orang yang mendengarkan " gumamku dalam hati.
Akhirnya aku ngobrol malam itu mulai dari perkenalan sampai dengan pengalaman.
Setelah kejadian malam itu aku semakin dekat dengan Hasan. Tak jarang aku minta pendapat tentang masalah yang sedang kuhadapi. Setiap katanya mengandung makna yang begitu indah bagaikan penyair yang menyampaikan risalah lewat kata-kata bijaknya.
" Dit, rasa cinta itu fitrah. Setiap manusia yang normal pasti akan merasakannya, tapi tergantung kita dalam pengembangan cinta tersebut. Cinta kita kepada lawan jenis atau hobby kita boleh-boleh saja, tapi jangan sampai rasa cinta tersebut mengalahkan cinta kita padaNya "
" Sulit San, hati ini sudah terlanjur suka sama dia. Sekarang alur hidupku saja entah kan kubawa kemana, semuanya serba kebingungan dan saat kuambil keputusan selalu saja kutemui jalan buntu "
" Dit, cinta itu tak harus memiliki dan cinta tak bisa dipaksakan. Jika kita memang mencintai seseorang, kita kan merasa bahagia jika dia menemukan kebahagiannya, walaupun kebahagian itu tidak ditemukan pada diri kita, kita harus ikhlas. Dit, sekarang mengadulah kepada Allah. Mohon petunjukNya untuk membimbing kebimbangan dalam menjalani hidupmu dan jangan terlalu dipikirkan sebab kamu tau sendiri kan bahwa kamu punya penyakit kanker " Hasan memang benar penyakit yang kuderita selama ini tak lagi kupikirkan. Padahal entah esok atau lusa bahkan mungkin hari ini jika Allah berkenan mengambil nyawa ini, aku tidak bisa berbuat apa-apa.
Kuingat pesan Hasan yang masih terngiang dalam benakku " Sesungguhnya setiap yang bernyawa pasti akan mengalami kematian, jadikanlah ini salah satu prinsip dalam menjalani hidup agar selalu ingat padaNya ". Bergetar seketika seluruh tubuhku entah apa yang terjadi padaku saat itu. Tanpa pikir panjang ku basuh setiap bagian tubuhku dengan air wudhu untuk mengadukan masalah ini pada Penguasa alam semesta.
" Ya Allah, betapa besar dosaku selama ini. Cinta yang kau berikan telah aku salah artikan. Begitu halusnya iblis membisikan arti cinta itu hingga kabut cinta duniawi telah menghalangi arti sebenarnya cinta. Ya Allah, andaikan cintaku padaMu sebesar cintaku padanya bahkan lebih dari itu. Sungguh aku sangat menginginkan hal itu sebelum Kau memanggilku. Ya Allah jadikan cintaku padaMu begitu besar hingga ku tak takut akan kematian bahkan kematian menjadikan gerbang menuju kerinduan menghadapMu " tak terasa air mata penyesalah telah membasahi pipi dan sajadah. Hatiku sedikit lebih sejuk dan tenang dan tak terasa keseimbangan tubuhku mulai tak stabil dan akhirnya aku tersungkur dalam sujud.
*~*
" Dit, berangkat kuliah ga ? " Berulang kali Hasan menanggil Adit, tapi tak ada sahutan dari dalam. Hasan memberanikan diri untuk masuk kekamar Adit dan ternyata pintunya tidak terkunci. Dia melihat Adit dalam keadaan sujud dan dia berpikir mungkin dia kesiangan shalat subuhnya. Setengah jam sudah dia menunggu dikasurnya, tapi Adit masih dalam keadaan bersujud. Hasan mulai penasaran dan mulai mendekati Adit, dia coba sedikit menggoncangkan tubuh Adit dan......." Astagfirullah.......Dit....Dit.....Innalillahi wa inna ilaihi rajiun, insyaAllah kau telah mendapatkan arti cinta yang sebenarnya. Semoga kau tenang diSisiNya ".



kiriman dari: TV (inisial aje yee... hehehe )

Friday, May 20, 2005

biru untuk langit gelap untuk malam

Akhirnya Boy nongol juga ke rumah Vivi 'n langsung langsung aja diboyong ke ruang belajar Seno, kakaknya Vivi. "Assalamu'alaikum," sapa Boy. "Walaikum Salam" Seno langsung nyalamin tangannya Boy. Nggak banyak omong langsung aja komputer yang lagi ngadat itu dengan pasrah diacak-acak. Dinyalain, diliatin programnya. Setelah dikira-kira bad sector-nya dimana, seketika itu juga komputer yang dengan manisnya duduk di atas meja, dibongkar. Tutup CPU-nya dibuka. Isi perutnya yang mirip perut Robocop diutak-atik. "Sirkuitnya ada yang longgar," jawab Boy waktu Seno tanya-tanya soal penggusuran eh pembongkaran komputer kesayangannya itu. Bener aja saodara-saodara, nggak sia-sia Boy waktu kecil suka ngrusakin mainan orang, ternyata komputer yang gegar otak itupun dengan lancar mengeluarkan program-programnya. "Belajar betulin komputer dimana, Boy" tanya Seno sesudah ngeberesin bekas operasi. "Belajar sendiri aja dari buku" jawab Boy sambil minum sirup. "Ditambah nekat bongkar komputer bokap di rumah" lanjutnya sambil cengengesan Karena udah sore, Boy buru-buru pamitan pulang sama Seno dan tentu juga sama Vivi. "Pinter juga tuh anak" setelah Boy pulang, Vivi diam aja. "Baik lagi", tambahnya. "Kalau kakaknya?" tanya Vivi iseng. "Si Erik? baik juga sih, cuman sok kece aja" Komentar Seno sambil ngeliat reaksi adiknya. Vivi cuman manyun. "Apa si Boy baru aja maen ke rumah elu?" Erik nggak bisa nahan rasa sirik bin kagetnya waktu Seno nelpon ke rumah ngasih tahu kalo Boy baru aja pulang dari rumahnya. "Tenang aja Rik, Boy kagak ngapa-ngapain, cuman betulin komputer gue doang" kata Seno sambil ketawa ngeledekin Erik. Sukses gue bikin jealous tuh anak! "Oh, jadi dia nggak coba ngrayu-ngrayu Vivi kan?" Erik masih penasaran. Tawa Seno meledak. "Mana gue tau? emangnya gue musti ngawasin kemana adik lu pergi?" Erik bersungut-sungut. "Ok, Rik, sekian aja informasi dari Seno, wassalam, bye" klik, Seno nutup teleponnya meninggalkan Erik yang masih panas ati. Sialan si Boy, bener-bener kutu busuk alias musuh dalam selimut, beraninya maen belakang. Bersaing sih boleh aja, cuman jangan maen belakang dong. udah minggu kemaren nggagalin kencan gue ama Vivi, eh sekarang malah ngedeketin Vivi. Memang benar, perlu dikasih pelajaran tuh anak, Erik geram. Baru saja dia masuk ke kamar, suara kaki Boy kedengaran masuk ke dalam rumah. Erik nggak jadi masuk kamar. Boy ditungguin di depan kamarnya. Boy sempet kaget juga ngeliat kakaknya menghadang di depan pintu kamar. "Jadi gitu cara elu bersaing maen curang?" Erik emosi. Boy bengong nggak ngerti maksud omongan Erik, tapi otaknya cepet mikir, pasti soal mobil kemaren. Daripada ribut, Bou cuek aja masuk ke dalam kamar. Bruk. pundaknya tubrukan ama pundak Erik. Erik panas ngerasa dicuekin. Pundak adiknya ditarik, tapi tangannya ditepis Boy, dan tiba-tiba sebuah pukulan melayang ke wajah Boy, Duk! Boy nggak sempat menghindar, badannya terhuyung ke dalam kamar. Tapi sebentar kemudian Boy melayangkan pukulan balasan ke pipi kiri Erik, giliran Erik yang terhuyung sampai terjengkang. Dia merasa ludahnya asin. Makin murka Erik langsung berdiri dan menerjang Boy. Keduanya bergerumul di lantai dan saling baku hantam. "Berhenti" satu teriakan menghentikan keduanya. Papi sudah berdiri di belakang. Mami sesenggukan di balik punggung Papi. Pelan Erik dan Boy bangkit, pakain keduanya kusut. Darah mengalir dari sudut kiri bibir Erik. Sementara mata Boy lebam. "Apa-apaan ini? kalian mau saling bunuh, hah?" tanya Papi dengan suara tinggi. Erik dan Boy tidak menjawab. "Sekarang kalian bereskan semuanya dan Papi tunggu satu jam di kamar Papi" Selesai memarahi papi menuju ke ruang tengah sambil menggandeng Mama yang masih sesenggukan. Tapi baru aja papi dan mama berjalan beberapa langkah, tiba-tiba, bruk! Boy ambruk, mama kaget dan menjerit "Boy!!" Papi dan Mama berdiri di samping ranjang saat Boy membuka mata. Papa dan Mama membawa Boy ke rumah sakit. Kata dokter Boy terkena gegar otak ringan akibat terbentur tembok waktu berantem dengan Erik. Wajah Papi sudah tidak segarang tadi. Kelihatan lebih tenang, hanya Mamanya yang masih nampak cemas. "Masih sakit, sayang?" tanya Mami penuh perasaan. Boy tidak menjawab. "Pi", kata Boy pelan, Papi mendekatkan telinganya pada Boy. "Boy minta maaf, Pi" pinta Boy pelan. Papi menggelengkan kepala. "Papi sudah maafkan. Papi sudah tahu semua duduk persoalannya. sekarang kamu istirahat saja. Kita bicarakan nanti aja kalau kamu sudah kembali ke rumah" Jawab Papi menenangkan Boy. Sore itu Erik masih duduk-duduk di teras belakang rumah neneknya. Oleh Papi, Erik dilarang tinggal di rumah selama 2 bulan. Akhirnya dengan sangat terpaksa dia mengungsi ke rumah nenek. Tapi lumayan, dia nggak kesepian, karena mini componya boleh dibawa ke sana. Lamat-lamat lagu Paint My Love-nya Micheal Learns to Rock terdengar di sana. "From my youngest years till the moment here I've never seen such a lovely queen" begitu Erik menirukannnya. Erik jadi teringat Vivi, sudah 2 minggu dia nggak maen atau nelpon ke rumahnya. Mungkin sudah tahu kejadian yang menimpa Boy, mungkin juga ia sekarang membenci dirinya dan makin simpati ama Boy. Erik menertawakan ketololannya sendiri, kenapa ia begitu emosi pada Boy, ia terbawa emosi setelah diberitahu Seno kakak Vivi, bahwa Boy baru aja ke rumah Seno. Padahal dalam kenyataanya, Boy hanya bentulin komputer, kalaupun pada Vivi, boy sebenarya juga naksir, tapi sebagai seorang muslim yang ngerti halal dan haram, maka Boy nggak melampiaskan rasa tertariknya pada Vivi dengan memacarinya, berbeda dengan Erik, dan belum tentu juga Vivi suka pada Boy ataupun erik. Karena penasaran, Erik mendekati telepon neneknya. Masih dengan ragu-ragu jarinya menekan tombol telepon. Cukup lama Erik menanti telepon di seberang diangkat. "Hallo?, bisa bicara dengan Vivi?" Erik mulai pembicaraanya. "Saya sendiri, Ini siapa ya?" tanya Vivi di seberang. "Erik, ini Erik" sahut Erik. "Erik?Kak Erik Sugama?" tanya Vivi. "Iya," Erik meyakinkan Vivi, yang diyakinkan malah terdiam. "Eh .. Vi, gue mau minta maaf. Gue lama nggak ngontak en maen lagi ke rumahmu, maklum banyak urusan" Erik mulai Berdiplomasi. "Eng ..nggak apa-apa, emangnya sekarang ada perlu apa?" tanya Vivi. "Vi.. gimana kalo sabtu sore kita ke Rose Kafe?" Erik harap-harap cemas kalo Vivi menolak ajakannya. "Memangnya ada perlu apa sih?, kalo cuman mau minum kopi kan bisa di rumah Vivi?" tanya Vivi curiga. "eee..Ada yang penting en kayaknya perlu serius deh. Lagian kan asyik kalau kita sore-sore maen ke sana. Kata anak-anak croissantnya enak lho, eh, kamu nggak lagi diet kan?" Erik mulai mengeluarkan jurus play boy-nya. "Bukan soal diet sih, cuman penting banget nggak?" vivi masih curiga. "Penting dong" jawab Erik. "Harus?" tanya balik Vivi. "Harus!" kejar Erik. Hening, Erik ikutan diam, menunggu jawaban Vivi. "Ya udah, tunggu ajam empat sore ya?" Akhirnya pekik Erik dalam hati. Yes you give me a big chance, God. "Ok, jam 4 sore en jangan lupa tunggu disana" sambar Erik cepat, Telepon Vivi ditutup. Klik Jam 4 sore, Erik sudah duduk di kafe Ros. Kaos hijau Ocean Pacific dipadu dengan jins biru. segelas kopi krim sudah ada diatas meja. Jam 4 lewat lima menit Vivi muncul dari dalam taksi. What a beauty! puji Erik dalam hati. Bener-bener sekuntum bunga mawar merah. Erik melambaikan tangan, saat Vivi mendekati Erik menarik kursi untuk tempat duduk Vivi. "Mau makan dan minum apa?" tanya Erik setelah Vivi duduk. Yang ditanya sibuk membuka daftar menu. "Pisang bakar keju, sama kopi krim" jawabnya. Pelayan yang berdiri di dekat Vivi segera pergi menyiapkan makanan. "Setengah porsi aja?" pesen Vivi lagi.
"Erik mau bicara apa sama Vivi?" tanya Vivi. Erik terkejut juga, jarang nih cewek berani mulai bicara pikirnya. "Nanti aja deh beres makan" jawab Erik bak gentlemen. "Begini, Vi" kata Erik lembut, "Sebenarnya dari dulu, sejak pertama kali liat Vivi, Erik langsung suka sama Vivi, jadi Erik mau minta jawaban jujur dari Vivi" Suara lembut Erik terputus. "Mau nggak Vivi jadi pacar Erik?" sambungnya. Vivi terdiam. Erik membuka lebar-lebar telinganya buat ngedengerin jawaban Vivi. Vivi menggeser tempat duduknya. "Vivi .."suara lembut khas Vivi akirnya keluar, terbata-bata. "Vivi... sebenarnya" Vivi masih ragu untuk ngejawab sementara Erik still waiting dengan cemas. "Vivi sebenarnya nggak nyangka dan nggak mau kalau hubungan baik Vivi dan Kak Erik ... disalah artikan sebagai pacaran oleh Kak Erik. Sekarang ini ...Vivi nggak mau pacaran dulu. Dengan siapapun..." sambung Vivi pelan dan dengan putus-putus. "Vivi ... minta maaf ... kalo jawaban Vivi menyinggung perasaan Kak Erik, bagaimana kalo sekarang kita berteman aja?" pintanya polos. Erik terhenyak ke sandaran kursi. Tak disangka ada juga gadis yang menolaknya, dan gadis itu adalah yang setengah mati diinginkannya. Erik terkesima dengan jawaban Vivi. Matanya setengah tak percaya kalau gadis dihadapannya adalah Vivi yang baru aja menolaknya. Ah, semoga kupingnya budeg dan salah denger. But its true! Vivi jadi serba salah dipandangnya Erik dengan tatapan kosong. Beberapa menit mereka berdua terdiam. "Vivi .. pamitan dulu, sudah mau maghrib, Mama pasti nyariin Vivi" akhirnya vivi memberanikan diri bicara. Gadis itu bangun sambil menyeka matanya yang basuh dengan sapu tangan merah jambu, berjalan menuju ke kasir, membayar ongkos makan mereka berdua, lalu pergi keluar dengan taksi biru. Erik masih terduduk di kafe yang mulai rame di kungjungi remaja-remaja yang membawa pasangannya masing-masing. Lagu Ordiniry Love menggema dengan pilu dari sudut kafe. "This is not your ordinary, your ordinary love, I was not prepare enough to fall so deep in love. Erik termangu sendiri di dalam kafe larut dalam kesedihannya. Lima tahun kemudian. Boy sibuk menyiapkan kamar kosnya yang bakal dipake tempat pengajian. Hari itu dia harus sudah mulai membimbing adik-adik kelasnya untuk jadi aktivis Islam di kampusnya. Terpaksa kamar yang biasa berantakan dirapikan. Diktat, kertas-kertas, coretan, buku-buku agama disimpan rapi di rak. Tiba-tiba matanya tertumbuk pada sehelai foto yang jatuh dari buku agamanya. Foto dia dengan Erik di Pengandaran, sewaktu liburan SMP. Dia jadi ingat Erik yang hampir lima tahun belum bertemu, semenjak perkelahian itu, Erik diminta agar sekolahnya pindah ke Surabaya, di rumah bibinya. Dan Erik belum pernah bertemu lagi dengan Boy, setiap Boy ke Surabaya, Erik menghindar dengan menginap di rumah temannya. Begitu pula setiap Erik pulang ke Jakarta, selalu tidur di rumah Nenek. Boy hanya tahu dari mama kalo prestasi sekolah Erik, ancur-ancuran, untungya dia masih bisa kuliah. Terakhir mama cerita kalau Erik bekerja dan akan menikah dengan teman kerjanya. Tak terasa Boy meneteskan air mata mengingat masa-masa mereka yang manis waktu SMP, sampe akhirnya mereka bertemu Vivi. Tapi mereka berpisah bukan karena Vivi, tapi karena kebodohan dirinya dan Erik. Meraka hanya anak-anak SMA yang berandal. Dug, dug dug, pintu kamar kostnya diketuk dari luar. "Boy, ada surat nih" teriak teman kosnya, boy menyeka air matanya sebelum membuka pintu. "Jazakallah khairan" katanya sambil buru-buru ngambil surat itu dan cepet nutup pintu takut ketahuan nangis. Ada dua surat di tangannya. Surat undangan berwarna biru dan merah jambu. Yang pertama dibuka: undangan pernikahan dari Erik. Boy nyaris jejeritan kesenangan, Erik menikah dan mengundangnya, ternyata dia tidak melupakan adiknya. Giliran surat kedua dibuka, dia menahan nafas membuka surat itu, undangan pernikahan Vivi Erningpraja. Boy tersenyum, tidak lagi panas kepala seperti dulu. Alloh jualah yang menentukan segalanya. Erik dengan gadis lain dan Vivi dengan pria lain. Surat itu disimpannya baik baik. Surat dari orang yang masih dan pernah dicintainya dan ternyata tidak pernah melupakan dirinya. Erik dan Vivi, aku akan datang ke pernikahan kalian, Boy janji pada diri sendiri. Tidak ada lagi dendam, tidak ada lagi cemburu. Gorden kamarnya dibuka, Boy ingin menatap langit malam itu. Langit masih biru dan malam mulai gelap, tapi semuanya indah dalam pandanganya yang kini semakin dibukakan oleh Allah. (Iwan)

Dela

“Saudara sebagai seorang ketua sangat tidak bertanggung jawab! Ketika semua bekerja keras, Anda malah tidak datang dengan alasan ketiduran! Ketua macam apa itu!”
Dia berkata dengan keringat yang menetes dan muka merah sambil menunjukkan jarinya kepadaku. Entah bagaimana ekspresi wajahku waktu itu, yang kurasakan hanyalah cengkeraman tangan Adi di bahuku.
“Kami bukannya budak yang dapat saudara suruh seenaknya. Kami di sini belajar berorganisasi, bekerja sama, dan membina persaudaraan, bukannya memupuk sikap diktator dan tak tahu diri!”
“Kamu keterlaluan!” Aku sudah tidak sabar mendengarkan omongannya. Telingaku rasanya terbakar.
“Kamu tidak berhak menuduh saya demikian! Apa buktinya kalau saya bersikap diktator?”
Sungguh di luar dugaan, dia tersenyum! Sungguh! Dia melihat seluruh peserta rapat dengan senyum tipis di bibirnya. Semua peserta terdiam.
“Coba Anda tanyakan pada peserta rapat tentang sikap Anda. Instrospeksi dirilah Bung!” Dia duduk di kursinya. Suara kursi bergeser itu terasa menyakitkan telinga dan ruangan itu kembali sepi seperti kuburan. Kupandangi mereka satu per satu dan mereka hanya menunduk.
Tiba-tiba dering bel mengejutkan kami. Kepala mereka tengadah menatapku. Segera aku berusaha menguasai diriku, “Baik, silakan Pendamping Kelas kembali ke posisi masing-masing dan bagian inspeksi segera bergabung dengan kelompoknya masing-masing!”
Begitu aku selesai bicara, ruangan itu dengan cepat berubah menjadi kosong.
“Raka, ayo, kita harus segera inspeksi!” Kutatap mata Adi, dia menunduk.
“Kamu juga setuju dengan dia Di?”
“Ah sudahlah, jangan dipikir, kerja kita masih banyak.”
Memang benar katanya. Ini adalah hari kedua Penataran P4 siswa baru. Masih ada empat hari lagi. Tapi kata-kata Dela tidak bisa kuabaikan begitu saja. Di dalam organisasi ini dia tergolong orang baru walaupun dia berkemampuan tinggi. Dia tidak seperti aku atau Adi, juga Ratna, Sari, Joko, Fitri, dan Dimas yang sudah dua tahun ikut organisasi di SMU ini. Begitu beraninya dia mempermalukan aku di depan orang banyak. Rasanya aku ingin menonjoknya, untung saja dia cewek.
“Ayo Raka!” Adi sudah tidak sabar.
“Sudah, kamu saja yang inspeksi, aku malas.”
“Lho, Raka!” Kutinggalkan Adi begitu saja.
Ya, memang salahku tidak datang pada hari pertama Penataran P4, dan otomatis Dela sebagai wakilku yang harus menanggung semua itu. Bukankah itu sudah tugasnya? Aku tahu kemampuannya walau dia masih baru, dan itulah sebabnya dia terpilih jadi wakilku. Tapi sungguh tidak adil kalau dia mempermalukan aku sebegitu rupa.
Sejenak kuamati papan pengumuman itu. Rupanya daftar kelas tiga yang baru sudah disusun. Ah, aku memang keterlaluan, aku tahu kalau kertas itu sudah menempel di situ sejak seminggu yang lalu, dan selama itu aku santai-santai di kamarku sambil sesekali nonton tivi dengan mama. Aku memang meninggalkan tugasku begitu saja, dan justru kata-kata Dela yang jujur seolah-olah menelanjangiku di depan orang banyak.
Dela Ardiana! Sialan, aku harus sekelas dengannya. Entahlah, tiba-tiba suatu pikiran jahat menelusup otakku.
***
Dengan cueknya dia mengecat kertas itu. Kuakui dia memang jago melukis. Herannya, orang bilang kalau seniman (yah, setidak-tidaknya dia pantas disebut seperti itu) itu perasaannya halus. Tapi tidak dengannya, dia berkali-kali melakukan tindakan ‘kasar’ seperti menolak cinta seorang laki-laki (yah, dalam hal ini aku tahu dari Adi, karena Adi sendiri pernah ditolaknya) dengan kata-kata yang mengejutkan, muka tak berekspresi dan meninggalkan mereka tanpa salam atau kata-kata halus. Selain itu dia tidak suka bercanda dengan cowok. Kata-katanya pendek-pendek dan tenang, ah, bukan tenang, tapi tegas. Dia juga tidak suka ngumpul-ngumpul di pesta ulang tahun. Benar-benar cewek yang menjengkelkan!
“Aduh!” Dilihatnya cat air merah itu tumpah dan membasahi kertas itu. Dia memandangku dengan tajam.
“Waduh, maaf ya, nggak sengaja, makanya kalau naruh cat jangan sembarangan! Kalau gini, madingnya nggak jadi-jadi!” Dia memalingkan mukanya dan menyobek kertas itu sambil melirikku dengan pandangan mata yang tajam. Sekejap aku merasa seram melihat roman mukanya.
“Mas Raka, ayo pulang dong!” suara manja Tika seolah-olah menyelematkanku dari pandangan mata Dela.
“Ayo!” Kuambil tas ranselku dan kupeluk pinggang Tika menjauh darinya.
“Lho, kok Mas Raka senyum-senyum sendiri?”
“Nggak apa-apa kok Tik.”
Usahaku tidak berhenti sampai di sana. Mading yang tidak yang ditempelnya tiga hari kemudian diam-diam kucopot dan kurobek-robek lalu kubuang di sampah. Kubuat sedemikian rupa sehingga mudah dikenali.
Dan benarlah! Satu sekolah gempar!Dan kulihat wajahnya menegang, merah, berkeringat, dan berkerut-kerut. Sepanjang hari itu dia terlihat gelisah di kelas. Aku tahu hal inilah yang paling membuatnya susah. Dia sangat menghargai karya seni, terutama karyanya sendiri. Apalagi mading itu adalah mading terakhir di penghujung masa tugasnya. Rasakan!

***
“Raka, ada temannya datang!” Mama memanggilku dengan suara soprannya.
“Sebentar Ma! Sialan, siapa yang datang jam segini. Seharusnya mereka tahu kalu jam segini waktuku untuk bersiap-siap untuk apel ke rumah Tika.
Dela tersenyum di kursi merah itu. Kulihat wajahnya berkeringat. Aneh tidak seharusnya orang berkeringat di malam seperti ini.
“Maaf mengganggu Raka.”
“Ya, ada apa?”
Dia mengetuk-ngetukkan jarinya di lengan kursi.
“Dela mau minta maaf. Dela merasa bersalah karena mading…” dia menatapku, aku mencoba tenang sambil mengangguk-anggukkan kepalaku.
“Sudahlah, memang jahat orang yang melakukan itu, tapi aku sudah maklum kok Del.” Aku ingin segera menyelesaikan pembicaraan. Aku ingin dia pergi secepatnya dari hadapanku.
“Terima kasih. Ah, iya, Dela mau minta tolong sama Raka.”
“Ya?” Aku mulai curiga.
“Sebentar.” Dela keluar, kuikuti dia. Dia berjalan ke Katana merahnya dan kembali dengan sebuah gulungan kertas.
“Ini, maaf kalau tidak sebagus yang dulu, Dela sudah mulai ada try out.”
“Lalu?”
“Tolong Raka yang menempelkan, mungkin lebih aman. Tak ada yang berani menyobek kalau Raka yang menempelkan kan?” Dia tersenyum. Sungguh! Senyumnya membuatku merasa seperti ditusuk-tusuk sebilah pisau tajam. Dia seperti tahu semuanya. Dia seolah-olah menganggapku anak kecil yang ketahuan berbohong kepada ibunya.
“Ma kasih ya Ka, Dela pulang dulu.” Dia pergi dengan kepulan asap mobilnya.
Aku sudah tidak ingin pergi ke rumah Tika, juga menerima telepon dari Adi atau Irwan yang mengajakku jalan-jalan.

***
Entahlah, sejak saat itu aku sangat suka melihatnya. Kuperhatikan bagaimana eskpresi mukanya ketika mendengar sesuatu yang lucu. Keringatnya yang menetes ketika sinar matahari begitu kejam meradiasi kulitnya yang kuning langsat, juga bagaimana dia selalu bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan guru. Sesungguhnya dia sangat cerdas dan berani. Dia juga agak pendiam. Dia tidak suka mendengar pembicaraan yang kacau atau ngerumpi seperti biasa yang dilakukan cewek-cewek. Dia juga tidak pernah naik Katana-nya ke sekolah. Dia lebih suka membonceng di belakang Rahma, teman sebangkunya yang berjilbab itu, dan dia suka sekali berjalan-jalan ketika istirahat. Entah ke kantin, ke perpustakaan, atau sekadar berjalan!
“Lihat apa Ka?” Sodokan lengan Adi membuatku kaget. Aku diam.
“Kamu lihat-lihat Dela lagi.” Nadanya seperti mengeluh.
“Aku tidak suka kalau kau mengejarnya, kamu sudah cukup menyakitinya!”
“Siapa sih yang ingin dekat dengan anak sombong seperti dia?” Adi menatap mataku tajam-tajam. Matanya menyelidik seolah-olah ingin menelanjangiku.
“Kita duel pulang sekolah nanti di rumahku!” Lalu Adi berdiri dan permisi ke belakang.
Sudah kesal rasanya menjelaskan pada Adi bahwa aku tidak bermaksud mendekati Dela dan memujanya. Dia selalu bilang padaku bahwa dia tidak pernah tergila-gila pada seorang perempuan seperti itu.
“Kamu suka dia! Bangsat! Pengecut!” Tiga hantaman dari tangannya yang berat menghantam rahangku.
Aku tahu kalau aku akan kalah. Dia pandai berkelahi, dan terlebih dia ikut karate sejak SMP.
“Ayo ngomong! Satu tinju lagi mendarat di perutku.
“Di, sudah! Sudah!” Tak ada yang dapat kuperbuat selain menghindar. Tak ada yang akan memberiku pertolongan walaupun aku menjerit sekuat tenaga. Halaman rumah Adi luasa, dan rumahnya kosong! Pembantu-pembantu itu tak akan bisa berbuat apa-apa.
“Ngomong bangsat!” Lalu satu pukulan lagi. Dan aku terkapar!
“Oke, oke, kamu benar! Oke!” Kurasakan nafasku hampir mencekik tenggorokanku.
“Ya, aku mulai menyukai dia! Ya, mungkin aku jatuh cinta padanya!” Mataku terasa berkunang-kunang.
“Pulanglah!” Dia melemparkan ranselku dan sebuah agenda. Kucoba untuk duduk di rerumputan itu. Seorang pembantu Adi yang kutahu bernama Inah membawakan segelas air es.
“Agenda siapa ini?”
“Dela.”
“Dari mana kau dapatkan dini?”
“Kamu tak usah tahu. Buka halaman terakhir!”
Kubuka agenda hitam berlogo OSIS itu. Sebaris puisi tertulis dengan rapi:

Pertengkaran
Untuk Raka

Atmosfir dingin melingkupi kamiBukan hal yang terbaik dari keinginankubicara jujuritu sajakarena selebihnya aku cinta padamuDan kau mengembalikan cintaku dengan sebuah tusukan jitutepat di nyawaku
Surabaya, 26 Agustus 1997


Tiba-tiba perasaanku sangat kacau. Kulihat wajah Adi, sebuah genangan air di sekitar matanya.
“Di, kamu?”
“Ya, aku menangis. Kau sudah tahu kan sekarang? Pergilah! Pulanglah!” Suaranya bergetar, aku tahu dia sangat sedih.
Dengan langkah gontai kutinggalkan Adi yang menekuk mukanya. Kepalaku masih pusing dan kurasakan darah menetes di sela bibirku.
***
Sungguh di luar dugaanku. Kukira Dela tidak punya perasaan dan kaku. Kukira dia selama ini sebuah patung agung yang hanya bisa kupandang. Ya Tuhan…., ternyata dia mencintaiku.
Aku tak bsia bersikap ketika pagi itu dia masuk dengan sikap yang biasa dan mengucapkan salam. Aku tak pernah tahu dia sebegitu pandai berakting sehingga perasaannya seolah tak ada.
Ah, bodohnya aku! Bukankah pandangan matanya waktu itu, ketika di datang ke rumahku, keringatnya yang menetes di malam yang sedingin itu….Ah, sialan! Aku tak bisa menebaknya. Aku tak akan tahu kalau Adi tidak menunjukkan agenda itu padaku.
Adi……., dia pindah ke bangku belakang sejak pertengkaran kami siang itu. Sekarang aku duduk sendiri. Aku memang tak seberuntung Adi yang mudah disukai siapa saja.
Aneh memang kalau Dela menolak cowok seperti Adi. Apa kurangnya dia? Dia keren, tinggi, putih, cerdas, dan beken. Dengan penasaran kubuka sebuah buku tulis tebal di bangku Dela. Waktu itu kelas sepi. Hanya ada Retno dan Fajar yang asyik pacaran. Dan seperti dugaanku buku itu penuh dengan puisi dan coretan. Beberapa kali kuperhatikan dia menulis sesuatu dengan serius di buku itu, dan karena itulah aku curiga dan penasaran dengan isinya. Kubalik lembarannya dengan cepat.

Maaf
kepada Adi

gumpalan kata yang kau ucapkan waktu itu…

beberapa kali mengendap di hatiku
walau kau tahu betapa tenangnya akuAllah….

Cepat-cepat kubalik lagi lembaran kertas itu, aku ingin menemukan puisinya tentang diriku di buku itu.
Untuk Raka:
Pergilah dengan tenangTuhan…., berdosakah aku?Tuhan…., dia memandangkutajam seperti elangmenyayatku menjadi tujuh bagian dan membawaku ke nerakaTuhan….., bencinta menggunungdan diabodoh!Ya Allah!berikan sedikit kasih-Mu untuk mengusirnya dari hatikuPergilah kau dengan tenang.
Surabaya, 10 September 1997
Ah, bukankah ini adalah waktu dia tahu kalau madingnya kusobek? Tiba-tiba terlonjak ketika mendengar suaranya. Cepat-cepat kututup buku itu dan berpura-pura mencoret sebuah kertas kosong.
“Raka, pindah sana, aku mau duduk”
Apa ini, tak kudengar geratan suaranya ketika dia menyebut namaku. Dia bersikap biasa. Bahkan matanya juga terlihat tenang. Apa maksudnya? Bukankah dia seharusnya gugup karena aku ada di kursinya, terlebih-lebih buku tebalnya ada di hadapanku? Bukankah seharusnya dia curiga?***
Aku benar-benar penasaran dengan Dela. Dia teramat tenang untuk gadis yang sedang jatuh cinta. Tika sudah kuputus dua hari yang lalu. Masih jelas dalam ingatanku wajahnya yang memelas dan air matanya yang turun satu-satu.
“Memangnya Tika salah apa sama Mas Raka, Mas?”
“”Tika nggak salah”
“Lalu, apa alasan Mas mutusin Tika?” dia terisak.
“Nggak ada.”
“Bohong! Tika tahu Mas bohong! Mas Adi bilang kalau Mas Raka jatuh cinta sama Mbak Dela.” Aku diam, aku tidak bisa membantahnya. Haruskah aku berbohong?
“Seharusnya Tika tahu kalau semuanya bakal begini, seharusnya Tika tahu!” Kubiarkan dia pergi meninggalkanku. Dia lari ke kamarnya. Dan dengan kikuk aku pamit pulang kepada mamanya. Mamanya tahu semuanya. Dia memandangku dengan benci. Tapi walau bagaimanapun ini adalah keputusanku. Tidak bsia aku membiarkan Tika tersiksa terus menerus oleh sikapku yang acuh sejak aku membaca puisi-puisi Dela. Sejak aku jatuh cinta. ***
Sedikit gelisah aku memperbaiki sikap dudukku. Dela mendekatiku dengan langkah yang biasa (itu yang tak kusuka darinya). Dia membawa selembar kertas bergaris biasa, mungkin sobekan dari salah satu bukunya. Dia tersenyum sambil meletakkan kertas itu di atas mejaku.

Buat Raka:
Perpisahan
Bertemu adalah untuk berpisahMelalui matakutahu, kita berdosa….Masa bergerak menebas kita tanpa ampunDan sebagian dari kita terlibasMati!Dalam sepiTelusuri tasbih dan asma suci-NyaKembali
KembalilahDalam pelukan-NyaKita berpisah untuk bertemuwalau sepahit apapunberpisah untuk dipertemukan-Nyabila kau percayadan Dia berkehendak
Dela

Aku terlongo setelah membaca tulisan itu. Rupanya ini balasan dari surat cinta yang kukirim kemarin. Dan keesokan harinya kulihat dia memakai jilbab panjang dan duduk dengan manis di kursinya. Dan diam. Dia tak lagi menatapku dengan pandangan yang tajam. Dan aku berusaha tidak menatapnya sejak saat itu. Aku tahu, aku terlalu kerdil untuknya.Gresik, 12 Nopember 1997

Tuesday, May 17, 2005

muhasabah

Fulan terus melangkah…. Bersama dengan teman-teman barunya. Ryan(anaknya keren abis tapi die tuh suka bolos `n cabut apalagi kalo pelajaran yang bikin Bete`), Fama….. anaknya asik dan gaul tapi doi jarang banget mengeksposkan wajahya dikelas alias kaga`pernah masuk. Dan Yua…yang jayus dikelas yang udah mulai sadar akan arti penting sekolah….
Matahari menyertai angin yang bersama,menyambut Pembicaraan keempat orang itu. Ryan ngajak fulan untuk ngadubola ama tementemennya diuI hari jum`at,sedangkan fama ama yua Mo ngajakin janjian cabut pas istirahat hari jum`at dari sekolah(Tu orang sebenarnya mo niat sekolah apa kaga sich….?!),setelah dibujuk bujuk akhirnya fulan tetep kekeh nolak ajakan tementemennya untuk cabut.

Jum`at pagi ini smuda ,ngga ada yang beda seperti harihari biasanya murid murid datengnya pada siangan atawa pada ngaret padahal jadwal yang dibuat dari sekolah ngga` seperti itu. Si Fulan sudah dateng dari tadi pagi soalnya, kalo ngga` datengnya pagian `ntar kaga dapet mobil (maklumlah rumahnya jauh….).
oh iya sifulan ini tuh katanya sih anak rohis lho …!! `n yang pasti die tuh ikut ngaji juga…
Sang ikhwan Rohis yang duduk didepan memang ngga`pernah nyadar ama perasaan fulanah, padahal sama-sama anak rohis(Mmm….mungkin kurang kepedulian social kali yee….)
Fulanah baru-baru sekarang ini ngerasa ada yang aneh pada dirinya. Dai piker apa pantas setiap aktivitasnya terlihat orang lain. Dia kan rohis,pikirnya , ahh… yang jelas rohis tuh kan ngga gaul ama rohis aja , tapi kudu berbaur ama yang laen….
Fulanah yang kurang sreg ngeliat fulan , pengen bertindak tapi maluuuu…. Mo ngomong ama ikhwan yang duduk dideapnnya yang kaga` da kepedulian sosia…..terus gimana doonk….???
Hari jum`at itu fulan ngga` jarang bercanda ama ryan , kalo si yua ama fama sih udah jeals ngga` masuk sekolah tu……
Melihat kelakuan `n tingkah laku fulan yang makin menyimpang atawa terlalu bebas membuat fulanah tambah gedeken kurang sreg, sedangkan sifulan dari tadi Udah mikir-mikir … boleh doonk rohis saya aktif ..yaa.. ama temen-temen kudu juga aktif
Teett…..tett
Bel pulang sekolah udah berbunyi…..fulan udah ke mesjid nuril untuk sholat jum`at sedangkan surat udah diselipin ama fulanah ,ditasnya fulan waktu istirahat….. sukses nih..
Setelah sholat jum`at fulan pulang , kebetulan pekan ini ngga` ada mentring so dia bias lang sung pulang. Fulan menunggu angkot yang langsung kesimpangan …. Soalnya kalo keposek dulu onkosnya banyak .
Waktu ngambil uang ditas (buat ongkos …!!)fulan menemukan secarik kertas, terus dibaca deh

Assalamu`alaikum
Akhi
Hidup itu sebuah perjalanan
Setiap perjalanan memiliki rintanagan yang memaksa seseorang untuk bertahan
Untuk menghadapi rintangan selalu memerlukan pejuangan
Dan didalam perjuanganitu pengorbanan
Hidup itu memang sempit
Namun tak berarti hidup itu pelit
Tinggal bagaimana seseorang dapat menampik
Rintangan dalam dunia kehidupannya yang terapit

Dua apitan membentuk satu pertemuan
Satu kebaikan dan satu keburukan
Jalan dakwah hidup ini memang menentukan
Ketika ikwah mulai menemukan 1 titik penerangan

Mungkin hari ini antum sedang futur
Tapi tidak berarti antum tidak bisa tergoyah untuk mengatur
Sebab futur, terkadang dipandang orang lain sedang hancur

Mungkin hari ini antum sedang beriman
Tapi tidak berarti antum tidak bisa berbuat penyimpangan
sebab iman adalah kepemilikan dalam urgensi dakwah kehidupan
dimana ia bisa berada dibatas , diambang dan dibawah kewajaran
dan proporsionalisasi keimanan itu memang menyulitkan
terkadang iman antum memuncak
namun saat itu situasi antum pun seolah terkoyak
maka tak terelakkan lagi keimanan antum pun ikut bergerak
mengikuti situasi sekitar yang berpindah jarak

Mungkin hari ini, saat ini, waktu ini, detik ini antum mulai berfikir
Keimanan itu memang bertahap akan terkikir
Namun disisi lain keimananitu pun dapat terisolir
Oleh urgensi dan keaktifan dakwah antum
Yang terus bergulir……

Wassalam



Fulan memegang erat surat itu, ternyata dirinya telah jauh melangkah dan alhamdulillah masih ada yang perduli….. . saking merenung nya die tuh kelewatan turunnya……. Harus nya sih turun di BBM tapi angkotnya udah nyampe ke graha prima……yaaa..kelewatan jauh nih…mana ngga` ada ongkos lagi..
Tapi ngga` papa deh……
Fulan kemudian menyebrang, dalam perjalanannya air matanya berlinang ternyata selaam ini dia diperhatiakan,
begitu jauh diaberenang menyebrang lautan kebaikan
hingga begini yang jadi akhiran

“ astagfirullah…. Ampuni segala kesalahan ku ya…Allah”. Fulan terus bergumaam
tibatiba….. sebuah sedan civic melaju dengan kencang tan takdapat mengatur kecepatannya(maklum lah orang tikungan….), dan mobil itu menyerempet fulan yang berada dipinggir jalan . fulan punterlempar jauh terpisah dari tas alpinanya,namun sepucuk suratitu masih tergenggam ditangannya
dan ia masih sempat bergumam
“ laa ilaa ha…illallah…”
matahari mulai menjauh
awan mendung mampir ditinkungan graha prima
hujan pun turun memberkati fulan



Hafar Muthmainah
Buat semuanya ….!!!Taubat yukk...

jodoh

Wei Ku telah beranjak dewasa. Sudah saatnya ia mencari gadis yang baik untuk dijadikan istri. Tapi sampai saat ini, ia belum juga berhasil. Bukan suatu hal yang aneh. Ia memang terlalu mempertimbangkan bibit-bebet-bobot calon istrinya. Maka, saat angin semi mulai bertiup ke dataran Cina pada tahun 807, Wei Ku melakukan perjalanan ke Tsing-Ho.
Di tengah perjalanan, Wei Ku memutuskan untuk beristirahat di sebuah rumah penginapan yang berada di Gerbang Selatan Sung-Cheng. Kebetulan ia bertemu dengan teman sekolahnya dulu. Maka Wei Ku tak segan untuk menceritakan maksud perjalanannya itu. Seperti gayung bersambut, temannya menyarankan Wei untuk mencoba melamar anak gadis keluarga Pan. Menurut temannya itu, keluarga Pan adalah keluarga yang status sosial ekonominya sederajat dengan Wei. Lagipula, gadis itu sangat cantik dan terpelajar. Wei girang bukan main.
Sebelum berpisah, teman Wei berjanji untuk mempertemukannya dengan 'Pak Comblang' dari keluarga Pan di Lung-Shing, esok pagi. Pak Comblang inilah yang akan meneruskan data pribadi Wei kepada gadis tersebut. Bila keluarga itu berkenan menerimanya, maka Wei akan segera berkenalan, sebelum lamaran resmi atau khitbah diajukan.
Kegembiraan yang meluap-luap memenuhi rongga dada Wei. Dibentangkannya sajadah, lalu ia mulai sholat istikhoroh. Baru kali ini Wei merasa melakukannya dengan sepenuh hati, dengan kepasrahan yang murni ... Ah. Tak terasa air mata Wei berjatuhan. Diam-diam menyelinap suatu penyesalan. Mengapa ia baru bisa khusyu' dan dapat merasakan ikatan yang erat dengan Allah, ketika ada masalah berat dan serius yang harus ia hadapi ? ...
***************
Waktu subuh belum lama berlalu, namun Wei telah bersiap untuk pergi menemui Pak Comblang. Makin cepat makin baik, pikirnya. Di bawah sinar bulan sabit yang kepucatan, Wei bergegas menuju Lung-Shing. Fajar belum juga merekah ketika Wei sampai di tempat yang dijanjikan. Sepi sekali. Nyanyian jangkrik perlahan menghilang. Wei benar-benar sendirian. Di tengah kegamangan hatinya, Wei mencoba mengitari bangunan itu. Seperti sebuah musholla kecil. Cahaya lilin yang memantul di sela-sela kaca jendela, membangkitkan rasa ingin tahunya.
Wei berjingkat ke arah jendela. Ditempelkan matanya ke celah-celah ...
"Hei, masuklah!"
"Jangan mengintip seperti itu!"
Wei tersentak. Rasa malu, kaget dan takut berbaur menjadi satu.
"Ayo, masuklah. Jangan takut!"
Suaranya lebih lembut namun tetap berwibawa. Wei ragu-ragu. Tetapi rasa ingin tahu sedemikian menyerbunya. Akhirnya ia memberanikan diri melangkah ke dalam.
"Kemarilah!" ajaknya tanpa melihat muka Wei.
Wei memperhatikan dengan penuh seksama. Laki-laki itu belum terlalu tua, tapi wajahnya memancarkan kebaikan yang seolah-olah bersumber dari seluruh aliran darahnya. Bijak, arif, lembut namun tegas. Tentulah ia pengemban amanah yang luar biasa, pikir Wei.
Laki-laki itu duduk di atas permadani sambil membaca sebuah buku. Lalu ia berkata perlahan: "Belum saatnya Wei.... Belum saatnya." Wei menatap wajahnya dengan penuh kebingungan.
Lalu laki-laki itu kembali melanjutkan. Kali ini ditatapnya Wei dengan ketajaman jiwa. "Kau tahu? Semenjak seseorang ada dalam kandungan ibunya, Allah Ta'ala telah menetapkan 3 hal untuknya. Kau sudah tahu bukan! Salah satu di antaranya adalah jodohnya.. pasangan hidupnya."
"Hmmmm..... seperti benang sutera."
"Ya, seperti benang sutera yang diikatkan di antara mereka berdua. Kepada kaki laki-laki atau bayi perempuan yang lahir dan ditakdirkan berjodohan satu dengan yang lainnya. Begitu simpul diikatkan, maka tak ada suatu hal pun yang dapat memisahkan mereka."
"Salah seorang diantara mereka mungkin saja berasal dari keluarga yang miskin, sedang yang lainnya dari keluarga yang kaya. Atau mereka terpisah bermil-mil jaraknya, bahkan mungkin ada yang berasal dari dua keluarga yang saling bermusuhan. Tapi pada akhirnya, bila saatnya telah tiba, mereka akan menjadi suami istri. Tak ada suatu hal pun yang dapat mengubah takdir itu." Laki-laki itu terdiam sesaat. Wei kini sudah sepenuhnya duduk terpekur di hadapannya. Kalimat demi kalimat disimaknya dengan seksama.
"Jodoh adalah masalah yang paling ajaib dan paling gaib. Suatu rahasia kehidupan yang tak akan pernah tuntas untuk dimengerti. Bayangkan. Dua anak yang berbeda, tumbuh di lingkungannya masing-masing. Sebagian besar mungkin tidak menyadari kehadiran satu dengan lainnya. Tapi bila saatnya tiba, mereka akan bertemu dan mengekalkan ikatannya dalam tali pernikahan."
"Kalau ada wanita atau laki-laki lain yang muncul di antara keduanya, ia akan terjatuh. la tak akan mampu melewati bentangan tali sutera yang telah diikatkan pada mereka. Ah, kau pasti pernah melihat orang yang patah hati bukan? Hhh, sebagian orang yang bodoh dan tak kuat menahan cobaan, memilih mati daripada patah hati. Bukan takdir yang memilihnya untuk bunuh diri. Itu pilihannya sendiri, ia cuma tak sabar menanti saat pertemuan itu datang."
"Ketahuilah, Wei. Masalah jodoh adalah rahasia Allah. Kau harus dapat berdamai dengan takdirmu."
"Bagaimana dengan aku!" sela Wei. "Apakah aku akan berhasil menikah dengan anak gadis dari keluarga Pan? Apakah ia takdirku?" tanyanya tak sabaran. Laki-laki itu tersenyum.
"Belum saatnya Wei. Belum saatnya. Suatu saat nanti, kau akan menikah dengan seorang gadis shalihat, cantik dan pintar. Pun dari keluarga yang terhormat. Kelak, setelah menikah, kalian akan mempunyai anak laki-laki. Dan anakmu akan menjadi pedagang yang terpelajar. Ia dermakan kekayaannya untuk agama Allah. la juga akan menjadi anak yang senantiasa memelihara kedua orang tuanya. Meskipun kalian sudah tua renta nanti. Hal ini tak lepai dari peranan ibunya dalam mendidik anak itu."
"Tapi itu nanti. Bila calon istrimu telah mencapai usia 17 tahun. Sayangnya, saat ini dia masih berumur 7 tahun."
"Hah!" Wei kebingungan. "Jadi saya harus membujang selama 10 tahun ?!" Wei menatap tak percaya. Ia berharap semua hanya kemungkinan karena ia salah dengar saja. Wei mencari kesungguhan di sana. Tapi semua sia- sia. Air muka laki-laki itu tak berubah sedikit pun. Dan Wei menyadari semua adalah kebenaran.
"Kalau begitu, di mana dia sekarang? Dimana saya dapat menemui calon istri saya? Tolonglah?!" Wei memohon padanya. "Oh, gadis itu tinggal dengan wanita penjual sayur. Tak jauh dari sini. Setiap pagi, wanita itu datang ke pasar dan menjajakan sayurannya di sebelah kios ikan." Kukuruyukkkkk ... !! Suara nyaring ayam jantan memecah keheningan. Wei tersentak.
Kukuruyukkkkk...! ! Kokok nyaring ayam jantan membangunkan Wei dari tidurnya. Ah, rupa-rupanya ia tertidur di atas sajadah. Alhamdulillah, waktu subuh belum habis. Wei bersegera mengambil wudhu. Sehabis sholat subuh, Wei kembali teringat mimpinya. Seolah semua menjadi teka-teki. Wei belum tahu apakah harus menganggapnya sebagai jawaban atas sholat istikhorohnya atau tidak. Untuk mcnyingkap tabir mimpi itu, cuma ada satu cara yang bisa dilakukannya: mencari gadis kecil yang katanya calon istrinya itu!
Lalu Wei pun bergegas ke pasar terdekat. Sepanjang jalan ia berdoa dan berjanji. Berdoa agar calon istrinya memang benar-benar baik bibit, bebet dan bobotnya. Sebagaimana telah diisyaratkan dalam mimpi. Dan berjanji untuk menerima takdirnya dan berusaha menjadi muslim yang baik. Lebih baik dari kualitasnya sekarang. Fajar telah lama merekah saat Wei tiba di sana. Orang-orang mulai melakukan kegiatannya. Pembeli mulai berdatangan. Ramai. Namun belum seramai satu jam yang akan datang. Maka Wei lebih leluasa untuk mengamati sekitarnya. Matanya berkeliling mengitari pasar, lalu tertumbuk pada sosok kecil di samping kios ikan.
Wanita itu tua, kotor, lusuh. Kumal. Rambutnya telah keabu-abuan. Dengan sebelah mata tertutup lapisan katarak, ia duduk di selembar alas sambil menggendong bocah kecil di dadanya. "Oh, tidak!! Bagaimana mungkin?! Ini pasti kekeliruan!" Wei menatap kembali bocah terlantar yang kurus kering itu. Hatinya hancur. Ah, mimpi semalam benar-benar hanya bunga tidur.
Wei kembali ke penginapannya dengan hati lesu. Kali ini bukan saja ia kecewa karena calon istrinya ternyata hanya seorang bocah gelandangan, tapi juga karena 'Pak Comblang' dari keluarga Pan tidak datang pada pertemuan yang ia janjikan. Tanpa suatu penjelasan apapun. Ah, sudah jatuh dari tangga, tertimpa genteng pula!
Saya adalah seorang yang terpelajar. Sudah selayaknya saya mendapatkan seorang gadis dari keluarga terhormat. Semakin lama Wei memikirkan hal tersebut, semakin jijik ia membayangkan kemungkinan menikahi bocah kumal itu. Benar-benar menggelikan. Wei khawatir hal tersebut benar-benar akan terjadi. Dan ia tidak dapat tidur semalaman.
Keesokan hatinya. Wei pergi ke pasar bersama dengan pelayan setianya. Wei menjanjikan imbalan yang sangat besar apabila ia berhasil membunuh bocah kumal itu. Wei dan pelayannya berdiri di belakang pembeli. Begitu kesempatan datang, pelayan Wei menikamkan pisaunya ke arah si anak, lalu mereka kabur. Bocah kecil itu menangis dan wanita buta yang menggendongnya berteriak-teriak: "Pembunuh! Pembunuh!" Kegemparan segera menyebar ke seluruh penjuru pasar.
Sementara itu, Wei dan pelayannya telah lenyap dari tempat kejadian. "Kau berhasil membunuh dia?" tanya Wei terengah-engah. "Tidak," jawab pelayannya. "Begitu saya menghunjamkan pisau ke arahnya, anak itu berbalik secara tiba-tiba. Saya rasa saya hanya melukai mukanya. Dekat alisnya."
Wei segera meninggalkan penginapan. Kejadian itu dengan segera terlupakan oleh masyarakat sekitar. Ia kemudian pergi ke arah Barat menuju ibukota. Karena kecewa dengan kegagalan pernikahannya, Wei memutuskan untuk berhenti memikirkan perkawinan. Tiga tahun kemudian Wei dijodohkan dengan gadis yang mempunyai reputasi baik yang berasal dari keluarga Tian. Sebuah keluarga yang cukup terkenal di masyarakat sekitar. Anak gadisnya terpelajar dan sangat cantik.
Semua orang memberi selamat pada Wei. Persiapan pernikahan tengah dilangsungkan, ketika suatu pagi Wei menerima berita yang menyakitkan. Calon istrinya melarikan diri dengan laki-laki yang dicintainya. Mereka berdua telah menikah di kota lain. Selama dua tahun Wei berhenti memikirkan pernikahan. Saat itu ia berusia dua puluh delapan tahun. Ia berubah pikiran tentang mencari pasangan dari masyarakat yang sekelas dengannya; seorang gadis kota terpelajar.
Maka Wei pergi ke pedesaan, mencari suasana baru. Di desa, Wei menghabiskan waktu dengan mempelajari buku-buku. Suatu hari ia membawa bukunya ke sungai di dekat ladang, agar lebih nyaman membacanya. Tanpa sengaja ia melihat gadis desa yang sedang memanen kentang. Wei jatuh hati padanya dan bersegera menemui orang tua gadis itu. Gayung bersambut, gadis itu menerima lamarannya. Maka Wei bergegas ke kota untuk membeli perhiasan dan baju sutera serta segala persiapan pernikahan. Selama beberapa hari, Wei berkeliling mengunjungi saudara-saudaranya untuk mengabarkan berita gembira itu.
Seminggu kemudian ia kembali ke desa. Tapi yang ditemuinya hanya kabar buruk tentang sakitnya sang calon. Wei bersedia menunggu sampai ia sembuh. Sampai setahun hampir berlalu, penyakit calon istrinya malah semakin parah. Gadis itu kehilangan seluruh rambutnya dan menjadi buta. Ia menolak menikahi Wei dan berpesan pada orang tuanya untuk meminta Wei melupakan dia. Ia mohon agar Wei mencari gadis lain yang layak untuk dijadikan istri.
Tahun demi tahun berlalu, sampai akhirnya Wei mendapatkan calon yang sempurna. Bukan saja ia cantik dan masih muda, tapi juga pencinta buku dan seni. Tak ada rintangan, khitbah pun segera dilangsungkan. Tiga hari sebelum pernikahan, gadis itu terjatuh dari tangga dan mati. Sepertinya nasib mengolok-olokkan Wei. Wei Ku menjadi fatalis. Ia tidak lagi peduli pada wanita, ia hanya bekerja dan bekerja. Sekarang ia bekerja di kantor pemerintahan di Shiang-Chow. Mengabdikan diri pada tugas dan sama sekali berhenti memikirkan pernikahan. Tapi ia bekerja dengan sangat baik, sehingga atasannya, Hakim Tai, terkesan pada dedikasi dan kesungguhannya. Lalu mengusulkan Wei untuk menikahi keponakannya. Pembicaraan itu sangat menyakitkan Wei.
"Mengapa Tuan mau menikahkan keponakan Tuan pada saya! Saya terlalu tua untuk menikah."
Pejabat itu menasehati Wei tentang keburukan membujang. Lagipula menikah adalah sunnah Rasulullah. Maka Wei menyetujuinya, meskipun ia sama sekali tidak antusias. Wei benar-benar tidak melihat istrinya sampai pernikahan benar-benar selesai dilangsungkan. Istrinya ternyata masih muda, Wei lega melihatnya. Tingkah lakunya sangat baik dan Wei harus mengakui bahwa ia adalah istri yang sangat baik. Taat, sholihat dan selalu menyenangkan. Sama sekali tidak ada alasan untuk tidak menyukainya.
Bila di rumah, istrinya selalu menata rambut dengan cara yang khas, sehingga menutupi pelipis kanannya. Menurut Wei, dengan tata rambut seperti itu istrinya kelihatan sangat cantik, tetapi ia agak heran. Tak kurang dari satu bulan, Wei telah benar-benar jatuh cinta kepadanya. Suatu saat ia bertanya, "Mengapa dinda tidak mengganti gaya rambut sekali-kali? Maksudku, mengapa dinda selalu menyisirnya ke satu arah?"
Istri Wei menyibakkan rambutnya dan berkata, "Lihatlah!" Ia menunjuk ke luka di pelipis kanannya.
"Bagaimana bisa begitu?"
"Aku mendapatkannya saat berumur tujuh tahun. Ayahku meninggal di kantornya, sedangkan ibu dan abangku meninggal dunia pada tahun yang sama. Kemudian aku dirawat oleh ibu susuku. Kami mempunyai rumah di dekat Gerbang Selatan di Sung-Cheng, dekat kantor ayahku. Suatu hari, seorang pencuri tanpa alasan apa pun, mencoba membunuhku. Kami sama sekali tidak mengerti, kami tidak pernah punya musuh. Ia tidak berhasil, tapi ia meninggalkan luka di kepala sebelah kananku. Karena itulah aku selalu menutupinya darimu."
"Apakah ibu susumu hampir buta?"
"Ya. Kok tahu?"
"Akulah pencuri itu. Ah, tapi bagaimana mungkin! Semua begitu aneh. Semua terjadi, seperti ada yang telah mentakdirkan."
Wei kemudian menceritakan semuanya. Bermula dari mimpinya setelah ia sholat istikhoroh, sekitar sepuluh tahun yang lalu. Istrinya juga bercerita, ketika ia berusia sembilan atau sepuluh tahun, pamannya menemukan ia di Sung-Cheng dan mengambilnya untuk tinggal bersama keluarganya di Shiang-Chow.
Akhirnya mereka menyadari bahwa pernikahan mereka adalah sebuah takdir yang telah digariskan Allah Ta'ala. Wei menangis. Ia malu pada Penciptanya. Malu pada kesombongannya untuk menentang takdir. Ah ... pada saat itulah, Wei menyerahkan segala urusannya kepada Allah. Tapi kenapa ketika ia mendapatkan petunjuk, ia malah mengingkarinya ?
Saat itu juga, Wei melakukan sholat taubat. Untuk menjadi mukmin yang baik. Begitulah, kasih sayang di antara mereka kian tumbuh subur. Setahun kemudian lahirlah anak laki-laki. Istri Wei mendidiknya dengan sangat baik. Setelah dewasa, ia menjadi seorang yang terpelajar. Usahanya di bidang perdagangan maju pesat. Ia sangat penyantun dan terkenal kedermawanannya.
Ketika sang anak menjadi gubernur, Wei Ku telah lanjut usia. Anak dan istrinya tetap setia memelihara dan mencintainya. Di tempat mereka pertama kali bertemu, empat belas tahun sebelum pernikahan, anak Wei membangun tempat peristirahatan untuknya.
(retold by : Lin Yu Tang / Ulan)