Saturday, July 16, 2005

Ghozzan

Jam dinding menunjukkan tepat jam dua belas malam.
Entah kenapa tiba-tiba aku terbangun. Kutatap dalam-dalam wajah istriku yang masih lelap dalam tidurnya.
Kubelai perlahan anak rambutnya yang tergerai di dahinya.
Kamu cantik Ghozzan,... bisikku perlahan.
Tanpa terasa, usia pernikahan kami sudah menginjak tahun yang ketiga tapi kami belum juga dikaruniai anak.

Ya Tuhan... karuniakan kepada kami anak, seorangpun tak mengapa..., begitu jerit do'aku tiap malam di atas sajadah.
Tapi entahlah hikmah apa yang tersembunyi di balik semua ini.
Aku yakin, Tuhan menyimpan hikmah itu untuk kuketahui kelak.
Ya,... itu pasti!!

"Ghozzan..., bangun... sholat yuuk..." Kutepuk pipi istriku perlahan.
Ia menggeliat. Aku tersenyum saja. Mungkin ia masih lelah, seharian mengurus rumah.
Mengepel, memasak, mencuci, membersihkan rumah, masih ditambah lagi kesibukannya menulis di media cetak.
Ah... aku sayang padamu Ghozzan....

Akhirnya, aku beranjak sendirian.
Berwudhu dan kemudian tenggelam dalam sholat malamku yang panjang.
Dan selalu do'a itu yang aku dahulukan.

Ya Tuhan, jika Engkau memberi kami anak yang sholih, tentu kami termasuk orang-orang yang bersyukur.
Jam dinding berdentang tiga kali, kulihat Ghozzan sudah ada dibelakangku dengan wajah merajuk.
Kutatap wajahnya dengan geli.

"Kamu kenapa? Mulutnya monyong begitu...?" godaku.
Ghozzan semakin merajuk.
"Si Mas mesti begitu....,nggak bangunin Ghozzan....," protesnya.
Aku tersenyum arif.
"Lah wong, kamu pules banget tidurnya. Mana Mas tega bangunin..., tadi nulis sampai jam sebelas 'kan?
Mosok baru tidur satu jam, sudah disuruh bangun lagi..."

"Iya deeh..., tapi nanti temani Ghozzan muraja'ah Qur'an yaa....," pintanya manja.
"Inggih, sendiko dawuh....," jawabku dengan logat jawa kaku.
Maklum besar di betawi.
Ghozzan tertawa geli mendengar jawabanku.
Serentak jemarinya yang mungil beraksi menggelitik pinggangku.
"Ssssst...., sudah ah, sholat sana, nanti keburu subuh....," elakku.
Ghozzan masih tersenyum sambil mengerjapkan matanya, lucu.
Sering kulihat Ghozzan termenung menatap ikan-ikan kecil di aquarium kami.

Matanya nanar menatap kosong ikan-ikan berwarna perak itu.
Ia betah diam tanpa ekspresi seperti itu. "Ssst...., Muslimah kok hobi bengong, siih..?" bisikku persis di telinganya.
Ghozzan tersentak kaget.
Pipinya bersemu merah, malu ketahuan melamun.
"Enngg.... nggak kok, ini lho Mas..., ikannya bertelur....," katanya perlahan.
"Ck.... pura-pura, dari tadi Mas lihat matamu tak berkedip, lama banget.
Itu bengong namanya, Non....," ku acak kepalanya gemas.

"Ikan saja bisa punya keturunan ya Mas...., kita kapan?" tanyanya lirih, hampir tak terdengar.
Seketika mataku memanas. Leherku tiba-tiba tercekat. Oh, Tuhan...
"Yaa..., sabar dong Non...., insya Tuhan ada hikmahnya....," tuturku, mencoba tegar.
Ghozzan tersenyum manis, lalu menggamit lenganku menuju meja makan.
Tak lama kemudian ia kembali berceloteh menceritakan aktivitasnya seharian.

Ah Ghozzan... Ghozzan... Ketika pernikahan kami menginjak tahun kedua, kami sudah memeriksakan diri seccara intensif pada dokter kandungan.
Hasilnya kami berdua normal! Dokter cuma menyuruh kami untuk bersabar, berdo'a, dan berusaha tentunya.
Yah.. barangkali kami berdua memang sedang diuji.

"Nikah lagi saja, Maaas....," celetuk Ghozzan suatu kali.
Aku tersentak. Keturunan memang sangat kuharapkan. Tapi membagi cintaku pada Ghozzan dengan wanita lain, meski itu dibolehkan dalam islam, apa aku sanggup??
Kucubit pipi istriku perlahan. "Nggak takut cemburu?" tanyaku menggodanya.
"Cemburu kan manusiawi Mas..., Aisyah juga cemburu sama Khadijah, tapi bukan cemburu masalahnya Mas..., kalau Mas punya istri lagi, kan
Ghozzan bisa ikut membesarkan anak dari istri Mas...," tuturnya panjang lebar.
"Kalau dia juga tidak bisa hamil?" "Ambil istri lagi...."
"Kalau belum punya anak juga?" "Ambil lagi..."
"Hussss...sembarangan!!" protesku pura-pura galak.
Kudekap kepala mungilnya erat-erat.

Hari ini ulang tahun perkawinan kami yang keempat. Umurku sudah duapuluh delapan tahun.
Uban dikepalaku sudah belasan jumlahnya. Ketika menikah dulu Ghozzan bilang, ubanku ada enam lembar!!
Dan sampai saat ini kami belum di percaya Tuhan untuk menimang seorang anak.

Tapi aku masih cinta Ghozzan. Dan, tidak akan pernah pudar.
Wajah Ghozzan yang oval dengan hidung yang bangir dan mulutnya kelihatan merah berseri-seri.
Kulihat ia membawa sebuah nampan besar yang tertutup ke arah meja makan.

Lalu ia menarik lenganku manja. "Sini Mas....," ajaknya. Aku menurut saja.
"Happy fourth anniversary...," katanya, lembut. Mataku berkaca-kaca.

Perlahan kubuka nampan itu.
Sebuah kue taart, romantis sekali
Dan sebuah amplop, dengan logo sebuah klinik.
Keningku berkerut. Ketika tanganku bergerak hendak mengambil amplop tersebut, seketika Ghozzan merebutnya.
"Makan dulu dooong....," protesnya.
Aku cuma menggeleng-gelengkan kepala, sambil tersenyum.
Tak urung kuraih pisau lalu, "Bismillahirrohmanirrohiim...," kupotong taart itu.
Ghozzan tersenyum, ia kelihatan bahagia sekali.

Kutengadahkan tanganku meminta amplop itu. Ghozzan menggeleng.
Makan dulu...., katanya. Ku garuk-garuk kepalaku dengan gemas. Ni, anak bikin penasaran juga.
Setelah selesai menyantap potongan kue yang kumakan dengan dua kali telan. Dan Ghozzan protes karenanya. Kurenggut amplop di tangannya.
Dan ...., Maha suci Engkau wahai Rabb seru sekalian alam!!! Ghozzan hamil!!!
Masya Allah ..., setelah sekian tahun!!! ...Seketika aku tersungkur sujud.

Air mataku meleleh. Kudekap kepala Ghozzan erat-erat.
Air mataku masih mengalir, menitik membasahi kepala Ghozzan.
Ia mendongak, jemarinya menghapus air mataku.

"Mas menangis?" tanyanya retoris.
Aku mengangguk. Ya, aku menangis! Tangis syukur ....
"Kok periksa ke dokter nggak bilang-bilang ?" protesku.
"Biarin, nanti nggak surprise....," katanya.

Tiba-tiba aku merasa bersalah. Sejak tahun ketiga pernikahan kami, aku tidak lagi rajin mengikuti tanggal-tanggal haid dan masa subur Ghozzan seperti dulu.
Kudekap Ghozzan makin erat. Sejak hari itu, kesehatan Ghozzan menjadi perhatian utamaku.
Aku sering marah-marah kalau Ghozzan masih juga suka menulis sampai larut malam.
Ya, tiba-tiba aku menjadi sangat cerewet.

****

Sembilan bulan, lebih delapan hari.
Rasanya hari itu tiba ...., tadi pagi Ghozzan sudah mulas-mulas.
Katanya mulasnya dimulai dari punggung menjalar sampai ke depan.
Aku ribut setengah mati. Kuraih gagang telpon. Aku menelpon seorang teman untuk membawa mobil ke rumah.
Ghozzan masih mengeluh mulas-mulas.
Tiba-tiba keluar cairan, oh .... air ketubannya sudah pecah!

****

Di rumah sakit aku begitu gelisah. Bapak ibu yang menungguiku cuma mengeleng-gelengkan kepala. Maklum anak pertama, begitu kata ibu.
Ya Tuhan ... entah kenapa aku tiba-tiba merasa ketakutan yang luar biasa.
Ya Tuhan, selamatkanlah istri dan anakku...., bisikku berulang kali.
"Bapak Saiful Bahri ?" seorang dokter keluar dari ruang bersalin.
"Ya....., saya dokter ..," sahutku cepat. Kuhampiri dokter itu.
"Ada sedikit kelainan, harus dioperasi ......
Suster!, tolong bimbing Pak Saiful untuk mengisi formulir ini....," kata dokter itu.
Aku tersentak kaget! Operasi?!? Astaghfirullah.....
"Tapi ...., istri saya tidak apa-apa 'kan dokter??" tanyaku khawatir.
Dokter itu terdiam. "Berdo'alah ...," katanya pelan.
Kugigit bibirku erat-erat. Tuhan ..., selamatkan istri dan anakku......
Kuambil wudhu dan sholat di musholla. Kuhabiskan gelisahku disana.
Tiba-tiba terdengar tangis bayi. "Anakku ....," desisku perlahan.
Aku seperti dituntun nuraniku.

Bergegas keluar musholla. "Bapak Saiful Bahri?"
"Ya, dokter ..."
"Selamat, bayinya perempuan, sehat, tiga setengah kilo, cantik seperti ibunya.....," kata dokter itu.
"Alhamdulillah ...," desisku berulang-ulang.
"Istri saya dokter ?"

Dokter itu terdiam. Tiba-tiba ada perasaan tidak enak menjalar di segenaphatiku.
Kutatap mata dokter itu dengan tatapan penuh tanya.
Tiba-tiba dokter itu menepuk bahuku perlahan, sementara kepalanya pun menggeleng perlahan pula.
Mulutku ternganga seketika ....

"Maafkan...., saya sudah berusaha. Tapi Tuhan menghendaki lain......," katanya.
Air mataku berloncatan tanpa bisa dibendung....
Dokter itu perlahan membimbingku masuk ke ruang bersalin. Aku menurut saja tanpa rasa.
Sesosok tubuh ditutup kain putih terbaring....
Perlahan dokter itu membuka kain penutupnya.

INNALILLAHI WA INNAILAIHI ROJI'UUN...

Wajah Ghozzan terlihat pucat. Tapi bibirnya tersenyum manis ..., maniiis sekali.
Kudekap kepala Ghozzan erat-erat ...., tangisku tak tertahankan.....

"Sabar .... sabar ...Pak ...," hibur dokter itu.
"Suster, bawa kemari , anak Bapak Saiful ...," katanya lagi.

Seorang bayi mungil yang masih merah disodorkan ke hadapanku.
Perlahan...ku gendong dan kutatap ia ....
Dadaku masih sesak karena tangis. Kutatap bayi merah itu dan Ghozzan berganti-ganti.
Mereka begitu mirip. Matanya..., hidungnya..., mulutnya..., Allah Akbar!!!

Rupanya inilah hikmah itu, Ghozzan...., ALLAH memberi kesempatan padaku untuk menemanimu selama empat tahun, untuk akhirnya memanggilmu setelah ia memberikan gantinya....

Ya, ALLAH jangan biarkan hatiku berandai-andai.....
seandainya saja kami tidak mengharapkan anak, jika itu membawa kematian Ghozzan ....
Tidak, ini semua takdir Mu ya Robbi ....

SELAMAT JALAN GHOZZAN ............................

By :wanna

Ikatkan Sehelai Pita Kuning Bagiku...

Pada tahun 1971 surat kabar New York Post menulis kisah nyata tentang seorang pria yang hidup di sebuah kota kecil di White Oak, Georgia, Amerika. Pria ini menikahi seorang wanita yang cantik dan baik, sayangnya dia tidak pernah menghargai istrinya. Dia tidak menjadi seorang suami dan ayah yang baik. Dia sering pulang malam-malam dalam keadaan mabuk, lalu memukuli anak dan isterinya.

Satu malam dia memutuskan untuk mengadu nasib ke kota besar, New York. Dia mencuri uang tabungan isterinya, lalu dia naik bis menuju ke utara, ke kota besar, ke kehidupan yang baru. Bersama-sama beberapa temannya dia memulai bisnis baru. Untuk beberapa saat dia menikmati hidupnya. Sex, gambling, drug. Dia menikmati semuanya.

Bulan berlalu. Tahun berlalu. Bisnisnya gagal, dan ia mulai kekurangan uang. Lalu dia mulai terlibat dalam perbuatan kriminal. Ia menulis cek palsu dan menggunakannya untuk menipu uang orang.
Akhirnya pada suatu saat naas, dia tertangkap. Polisi menjebloskannya ke dalam penjara, dan pengadilan menghukum dia tiga tahun penjara.

Menjelang akhir masa penjaranya, dia mulai merindukan rumahnya. Dia
merindukan istrinya. Dia rindu keluarganya. Akhirnya dia memutuskan
untuk menulis surat kepada istrinya, untuk menceritakan betapa menyesalnya dia.
Bahwa dia masih mencintai isteri dan anak-anaknya.
Dia berharap dia masih boleh kembali. Namun dia juga mengerti bahwa mungkin sekarang sudah terlambat, oleh karena itu ia mengakhiri suratnya dengan menulis, "Sayang, engkau tidak perlu menunggu aku. Namun jika engkau masih ada perasaan padaku, maukah kau nyatakan? Jika kau masih mau aku kembali padamu, ikatkanlah sehelai pita kuning bagiku, pada satu-satunya pohon beringin yang berada di pusat kota. Apabila aku lewat dan tidak menemukan sehelai pita kuning, tidak apa-apa. Aku akan tahu dan mengerti. Aku tidak akan turun dari bis, dan akan terus menuju Miami. Dan aku berjanji aku tidak akan pernah lagi menganggu engkau dan anak-anak seumur hidupku."

Akhirnya hari pelepasannya tiba. Dia sangat gelisah.

Dia tidak menerima surat balasan dari isterinya. Dia tidak tahu apakah isterinya menerima suratnya atau sekalipun dia membaca suratnya, apakah dia mau mengampuninya?
Dia naik bis menuju Miami, Florida, yang melewati kampung halamannya, White Oak. Dia sangat sangat gugup. Seisi bis mendengar ceritanya, dan mereka meminta kepada sopir bus itu, "Tolong, pas lewat White Oak, jalan pelan-pelan...kita mesti lihat apa yang akan terjadi..."

Hatinya berdebar-debar saat bis mendekati pusat kota White Oak. Dia
tidak berani mengangkat kepalanya. Keringat dingin mengucur deras. Akhirnya dia melihat pohon itu. Air mata menetas di matanya...

Dia tidak melihat sehelai pita kuning...

Tidak ada sehelai pita kuning....

Tidak ada sehelai......

Melainkan ada seratus helai pita-pita kuning....bergantungan di pohon beringin itu...Ooh...seluruh pohon itu dipenuhi pita
kuning...!!!!!!!!!!!!

Kisah nyata ini menjadi lagu hits nomor satu pada tahun 1973 di
Amerika. Sang sopir langsung menelpon surat kabar dan menceritakan kisah ini. Seorang penulis lagu menuliskan kisah ini menjadi lagu, "Tie a Yellow Ribbon Around the Old Oak Tree", dan ketika album ini di-rilis pada bulan Februari 1973, langsung menjadi hits pada bulan April 1973. Sebuah lagu yang manis, namun mungkin masih jauh lebih manis jika kita bisa melakukan apa yang ditorehkan lagu tersebut,...

If God always forgive you,.. will you forgive the others ? .. think wisely
.. !!!.


By : _irf3

Friday, July 08, 2005

Menipisnya Ibadahku

Assalamu'alaikum kamarku tersayang. Kembali aku pulang ke tempat kos ini seperti biasa, capek sekali seharian ini aku bekerja, jam 8.00 pagi sampai jam 5 sore. Kapan aktifitas ini akan berubah.

"Ya Allah, capeknya aku hari ini." Kasur empuk itu menggoda sekali, tapi aku harus mandi dan shalat Maghrib.
"Ada BAJAJ BAJURI, lihat TV dulu ah..." Aku pun nonton serial TV yang paling banyak ditonton ini.
"Masya Allah sudah jam 7 kurang seperempat, aku mau mandi ah..."

Aku pergi mandi dan shalat Maghrib jam 7, nggak lama aku dengar suara Adzan Isya', "Ya... Allah pinginnya hati ini berdzikir, tapi males sekali meski di mukena ini sangat enak sekali rasanya seperti Engkau memeluk aku. Tapi setan kamar ini kuat sekali, coba kamu jangan ganggu aku dulu setan. Sudahlah aku baca novel aja dulu sambil nonton TV... Shalat Isya'-nya entar aja.

KUBAH... Sebuah novel yang dipinjami teman sekantor dan sudah seminggu ini aku baca tapi nggak kunjung selesai, berharap malam ini bisa aku selesaikan.

Enaknya berbaring begini badanku rasanya remuk semua, aku sudah nggak tau lagi kapan terakhir aku mengingat Allah tepat waktu, enteng sekali sekarang aku meninggalkan waktu shalat, sejak aku putus sama pacarku, dan dia sekarang sudah menikah dengan orang lain. Atau kapan ya Sekarang ini aku benar-benar sedang tersesat.

"Ya Allah, sayangnya Engkau padaku, sehingga Engkau jauhkan dia dariku, indahnya anugerah kasih sayang cinta ini. Engkau berikan sampai Engkau menjodohkan dia dengan orang lain. Apakah akan bahagia seandainya aku yang berada di sisinya menjadi istrinya. Aku hanya bisa berdo'a semoga semua ini memang yang terbaik untuk kami berdua, semoga istrinya sekarang mencintai dan menyayangi dia sebesar rasa sayang cinta yang Engkau bersitkan di hatiku untuknya.

Ya Allah, lelahnya badan ini, hati ini untuk meniti hidup ini sendiri terus. Kapan Engkau akan memberi aku kepercayaan untuk menjadi istri yang shalehah, berbakti kepada suami yang menyayangi aku, keluarga, dan semua orang disekelilingku. Kapan mimpi itu akan menjadi suatu kenyataan."

Novel ini bikin ngantuk mataku, di TV semua acaranya pada sinetron sih. Sekarang orang-orang TV nggak ada yang kreatif membuat acara TV.

Jam 9.00 malam, cepet banget jam itu berputar, aku belum shalat Isya', nggak apa-apa lah nanti aja shalatnya, lebih baik sekarang aku pejamin mata dulu aja. "Bismillahirahmanirrahim. Bismika Allahumma ahya waa bismika 'amut... Ya Allah, aku titipkan jiwa ragaku pada saat aku tidur, berikanlah aku mimpi baik, jauhkanlah dari mimpi buruk, bangunkanlah aku nanti jam 1 karena aku masih punya kewajiban shalat Isya' sekaligus Tahajjud...".



***


Aduh wekerku bunyi pasti sudah jam 1, tapi masih jauh dari pagi, lima menit lagi deh aku tidur mungkin akan hilangkan kantukku. Ya Allah, jauhkanlah setan tidur ini dari tempat tidur ini dan mata ini. Aku ini yang setan atau memang ada setan di kamar ini. Kenapa berat sekali sekarang aku bangun malem.

Jam 2.30 sudah. Aku bangun dan bergegas ke kamar mandi ambil air wudhu', aku belum shalat Isya'nih.

Idih... malesnya dzikir apalagi shalat tahajjud. TV itu kayaknya minta ditonton. Ya sudahlah, aku ada makanan nggak ya di kulkas? Besok aku mau puasa deh, mencoba dari awal menahan hawa nafsu lagi.

Aku yakin ini adalah cobaan dari Allah. Sebulan ini nggak ada yang aku lakukan kecuali kerja, pulang ke kos, nonton TV, menunda shalat tepat waktu, meninggalkan Tahajjud dan Dhuha. Kemana rutin ibadahku aku juga nggak tau. Tiba-tiba sekarang baru sadar rutinitasku telah berubah, cobaan yang ini begitu berat, sulit sekali mengembalikan ibadah rutinku. Dalam do'a aku selalu memohon untuk ditetapkan iman, ihsan, dan Islam. Tapi sekarang aku berada diantara kesesatan.

"Kenapa ya Allah? Apa yang tersembunyi dibawah alam sadarku. Hamba sadar semua ibadah menjadi sia-sia kalau hamba seperti ini terus. Tapi setan di kamar ini begitu kuatnya. Tolong ya Allah, tolong hamba ini. Tipis sekali ibadahku dalam satu bulan ini. Kembalikanlah kembali kepadaku. Kembalikan shalatku, puasaku, amalku, kembalikan padaku. Golongkanlah aku ke dalam golongan orang-orang shaleh dan shalehah yang Engkau ridho'i."

Adzan Shubuh membuyarkan semuanya. Aku harus mandi, shalat dan pergi ke kantor. Aktifitas pagi yang satu ini alhamdulillah belum berubah.

Do'aku tentang kemalasan dan kesesatan di alam setan akan terhapus hari ini. Mundurnya ibadahku, tipisnya ibadahku akan berakhir hari ini. Aku akan memulai pagi ini dengan shalat shubuh tepat waktu, kembali ber-Dhuha dan bekerja untuk beribadah. Dan akan menjalankan rutinitasku sebagai muslimah dengan istiqomah. Semoga setan keluar dari kamar ini, rumah kos ini, dan paling penting dari dalam diri dan hati ini.

From :syahidah