Friday, May 20, 2005

biru untuk langit gelap untuk malam

Akhirnya Boy nongol juga ke rumah Vivi 'n langsung langsung aja diboyong ke ruang belajar Seno, kakaknya Vivi. "Assalamu'alaikum," sapa Boy. "Walaikum Salam" Seno langsung nyalamin tangannya Boy. Nggak banyak omong langsung aja komputer yang lagi ngadat itu dengan pasrah diacak-acak. Dinyalain, diliatin programnya. Setelah dikira-kira bad sector-nya dimana, seketika itu juga komputer yang dengan manisnya duduk di atas meja, dibongkar. Tutup CPU-nya dibuka. Isi perutnya yang mirip perut Robocop diutak-atik. "Sirkuitnya ada yang longgar," jawab Boy waktu Seno tanya-tanya soal penggusuran eh pembongkaran komputer kesayangannya itu. Bener aja saodara-saodara, nggak sia-sia Boy waktu kecil suka ngrusakin mainan orang, ternyata komputer yang gegar otak itupun dengan lancar mengeluarkan program-programnya. "Belajar betulin komputer dimana, Boy" tanya Seno sesudah ngeberesin bekas operasi. "Belajar sendiri aja dari buku" jawab Boy sambil minum sirup. "Ditambah nekat bongkar komputer bokap di rumah" lanjutnya sambil cengengesan Karena udah sore, Boy buru-buru pamitan pulang sama Seno dan tentu juga sama Vivi. "Pinter juga tuh anak" setelah Boy pulang, Vivi diam aja. "Baik lagi", tambahnya. "Kalau kakaknya?" tanya Vivi iseng. "Si Erik? baik juga sih, cuman sok kece aja" Komentar Seno sambil ngeliat reaksi adiknya. Vivi cuman manyun. "Apa si Boy baru aja maen ke rumah elu?" Erik nggak bisa nahan rasa sirik bin kagetnya waktu Seno nelpon ke rumah ngasih tahu kalo Boy baru aja pulang dari rumahnya. "Tenang aja Rik, Boy kagak ngapa-ngapain, cuman betulin komputer gue doang" kata Seno sambil ketawa ngeledekin Erik. Sukses gue bikin jealous tuh anak! "Oh, jadi dia nggak coba ngrayu-ngrayu Vivi kan?" Erik masih penasaran. Tawa Seno meledak. "Mana gue tau? emangnya gue musti ngawasin kemana adik lu pergi?" Erik bersungut-sungut. "Ok, Rik, sekian aja informasi dari Seno, wassalam, bye" klik, Seno nutup teleponnya meninggalkan Erik yang masih panas ati. Sialan si Boy, bener-bener kutu busuk alias musuh dalam selimut, beraninya maen belakang. Bersaing sih boleh aja, cuman jangan maen belakang dong. udah minggu kemaren nggagalin kencan gue ama Vivi, eh sekarang malah ngedeketin Vivi. Memang benar, perlu dikasih pelajaran tuh anak, Erik geram. Baru saja dia masuk ke kamar, suara kaki Boy kedengaran masuk ke dalam rumah. Erik nggak jadi masuk kamar. Boy ditungguin di depan kamarnya. Boy sempet kaget juga ngeliat kakaknya menghadang di depan pintu kamar. "Jadi gitu cara elu bersaing maen curang?" Erik emosi. Boy bengong nggak ngerti maksud omongan Erik, tapi otaknya cepet mikir, pasti soal mobil kemaren. Daripada ribut, Bou cuek aja masuk ke dalam kamar. Bruk. pundaknya tubrukan ama pundak Erik. Erik panas ngerasa dicuekin. Pundak adiknya ditarik, tapi tangannya ditepis Boy, dan tiba-tiba sebuah pukulan melayang ke wajah Boy, Duk! Boy nggak sempat menghindar, badannya terhuyung ke dalam kamar. Tapi sebentar kemudian Boy melayangkan pukulan balasan ke pipi kiri Erik, giliran Erik yang terhuyung sampai terjengkang. Dia merasa ludahnya asin. Makin murka Erik langsung berdiri dan menerjang Boy. Keduanya bergerumul di lantai dan saling baku hantam. "Berhenti" satu teriakan menghentikan keduanya. Papi sudah berdiri di belakang. Mami sesenggukan di balik punggung Papi. Pelan Erik dan Boy bangkit, pakain keduanya kusut. Darah mengalir dari sudut kiri bibir Erik. Sementara mata Boy lebam. "Apa-apaan ini? kalian mau saling bunuh, hah?" tanya Papi dengan suara tinggi. Erik dan Boy tidak menjawab. "Sekarang kalian bereskan semuanya dan Papi tunggu satu jam di kamar Papi" Selesai memarahi papi menuju ke ruang tengah sambil menggandeng Mama yang masih sesenggukan. Tapi baru aja papi dan mama berjalan beberapa langkah, tiba-tiba, bruk! Boy ambruk, mama kaget dan menjerit "Boy!!" Papi dan Mama berdiri di samping ranjang saat Boy membuka mata. Papa dan Mama membawa Boy ke rumah sakit. Kata dokter Boy terkena gegar otak ringan akibat terbentur tembok waktu berantem dengan Erik. Wajah Papi sudah tidak segarang tadi. Kelihatan lebih tenang, hanya Mamanya yang masih nampak cemas. "Masih sakit, sayang?" tanya Mami penuh perasaan. Boy tidak menjawab. "Pi", kata Boy pelan, Papi mendekatkan telinganya pada Boy. "Boy minta maaf, Pi" pinta Boy pelan. Papi menggelengkan kepala. "Papi sudah maafkan. Papi sudah tahu semua duduk persoalannya. sekarang kamu istirahat saja. Kita bicarakan nanti aja kalau kamu sudah kembali ke rumah" Jawab Papi menenangkan Boy. Sore itu Erik masih duduk-duduk di teras belakang rumah neneknya. Oleh Papi, Erik dilarang tinggal di rumah selama 2 bulan. Akhirnya dengan sangat terpaksa dia mengungsi ke rumah nenek. Tapi lumayan, dia nggak kesepian, karena mini componya boleh dibawa ke sana. Lamat-lamat lagu Paint My Love-nya Micheal Learns to Rock terdengar di sana. "From my youngest years till the moment here I've never seen such a lovely queen" begitu Erik menirukannnya. Erik jadi teringat Vivi, sudah 2 minggu dia nggak maen atau nelpon ke rumahnya. Mungkin sudah tahu kejadian yang menimpa Boy, mungkin juga ia sekarang membenci dirinya dan makin simpati ama Boy. Erik menertawakan ketololannya sendiri, kenapa ia begitu emosi pada Boy, ia terbawa emosi setelah diberitahu Seno kakak Vivi, bahwa Boy baru aja ke rumah Seno. Padahal dalam kenyataanya, Boy hanya bentulin komputer, kalaupun pada Vivi, boy sebenarya juga naksir, tapi sebagai seorang muslim yang ngerti halal dan haram, maka Boy nggak melampiaskan rasa tertariknya pada Vivi dengan memacarinya, berbeda dengan Erik, dan belum tentu juga Vivi suka pada Boy ataupun erik. Karena penasaran, Erik mendekati telepon neneknya. Masih dengan ragu-ragu jarinya menekan tombol telepon. Cukup lama Erik menanti telepon di seberang diangkat. "Hallo?, bisa bicara dengan Vivi?" Erik mulai pembicaraanya. "Saya sendiri, Ini siapa ya?" tanya Vivi di seberang. "Erik, ini Erik" sahut Erik. "Erik?Kak Erik Sugama?" tanya Vivi. "Iya," Erik meyakinkan Vivi, yang diyakinkan malah terdiam. "Eh .. Vi, gue mau minta maaf. Gue lama nggak ngontak en maen lagi ke rumahmu, maklum banyak urusan" Erik mulai Berdiplomasi. "Eng ..nggak apa-apa, emangnya sekarang ada perlu apa?" tanya Vivi. "Vi.. gimana kalo sabtu sore kita ke Rose Kafe?" Erik harap-harap cemas kalo Vivi menolak ajakannya. "Memangnya ada perlu apa sih?, kalo cuman mau minum kopi kan bisa di rumah Vivi?" tanya Vivi curiga. "eee..Ada yang penting en kayaknya perlu serius deh. Lagian kan asyik kalau kita sore-sore maen ke sana. Kata anak-anak croissantnya enak lho, eh, kamu nggak lagi diet kan?" Erik mulai mengeluarkan jurus play boy-nya. "Bukan soal diet sih, cuman penting banget nggak?" vivi masih curiga. "Penting dong" jawab Erik. "Harus?" tanya balik Vivi. "Harus!" kejar Erik. Hening, Erik ikutan diam, menunggu jawaban Vivi. "Ya udah, tunggu ajam empat sore ya?" Akhirnya pekik Erik dalam hati. Yes you give me a big chance, God. "Ok, jam 4 sore en jangan lupa tunggu disana" sambar Erik cepat, Telepon Vivi ditutup. Klik Jam 4 sore, Erik sudah duduk di kafe Ros. Kaos hijau Ocean Pacific dipadu dengan jins biru. segelas kopi krim sudah ada diatas meja. Jam 4 lewat lima menit Vivi muncul dari dalam taksi. What a beauty! puji Erik dalam hati. Bener-bener sekuntum bunga mawar merah. Erik melambaikan tangan, saat Vivi mendekati Erik menarik kursi untuk tempat duduk Vivi. "Mau makan dan minum apa?" tanya Erik setelah Vivi duduk. Yang ditanya sibuk membuka daftar menu. "Pisang bakar keju, sama kopi krim" jawabnya. Pelayan yang berdiri di dekat Vivi segera pergi menyiapkan makanan. "Setengah porsi aja?" pesen Vivi lagi.
"Erik mau bicara apa sama Vivi?" tanya Vivi. Erik terkejut juga, jarang nih cewek berani mulai bicara pikirnya. "Nanti aja deh beres makan" jawab Erik bak gentlemen. "Begini, Vi" kata Erik lembut, "Sebenarnya dari dulu, sejak pertama kali liat Vivi, Erik langsung suka sama Vivi, jadi Erik mau minta jawaban jujur dari Vivi" Suara lembut Erik terputus. "Mau nggak Vivi jadi pacar Erik?" sambungnya. Vivi terdiam. Erik membuka lebar-lebar telinganya buat ngedengerin jawaban Vivi. Vivi menggeser tempat duduknya. "Vivi .."suara lembut khas Vivi akirnya keluar, terbata-bata. "Vivi... sebenarnya" Vivi masih ragu untuk ngejawab sementara Erik still waiting dengan cemas. "Vivi sebenarnya nggak nyangka dan nggak mau kalau hubungan baik Vivi dan Kak Erik ... disalah artikan sebagai pacaran oleh Kak Erik. Sekarang ini ...Vivi nggak mau pacaran dulu. Dengan siapapun..." sambung Vivi pelan dan dengan putus-putus. "Vivi ... minta maaf ... kalo jawaban Vivi menyinggung perasaan Kak Erik, bagaimana kalo sekarang kita berteman aja?" pintanya polos. Erik terhenyak ke sandaran kursi. Tak disangka ada juga gadis yang menolaknya, dan gadis itu adalah yang setengah mati diinginkannya. Erik terkesima dengan jawaban Vivi. Matanya setengah tak percaya kalau gadis dihadapannya adalah Vivi yang baru aja menolaknya. Ah, semoga kupingnya budeg dan salah denger. But its true! Vivi jadi serba salah dipandangnya Erik dengan tatapan kosong. Beberapa menit mereka berdua terdiam. "Vivi .. pamitan dulu, sudah mau maghrib, Mama pasti nyariin Vivi" akhirnya vivi memberanikan diri bicara. Gadis itu bangun sambil menyeka matanya yang basuh dengan sapu tangan merah jambu, berjalan menuju ke kasir, membayar ongkos makan mereka berdua, lalu pergi keluar dengan taksi biru. Erik masih terduduk di kafe yang mulai rame di kungjungi remaja-remaja yang membawa pasangannya masing-masing. Lagu Ordiniry Love menggema dengan pilu dari sudut kafe. "This is not your ordinary, your ordinary love, I was not prepare enough to fall so deep in love. Erik termangu sendiri di dalam kafe larut dalam kesedihannya. Lima tahun kemudian. Boy sibuk menyiapkan kamar kosnya yang bakal dipake tempat pengajian. Hari itu dia harus sudah mulai membimbing adik-adik kelasnya untuk jadi aktivis Islam di kampusnya. Terpaksa kamar yang biasa berantakan dirapikan. Diktat, kertas-kertas, coretan, buku-buku agama disimpan rapi di rak. Tiba-tiba matanya tertumbuk pada sehelai foto yang jatuh dari buku agamanya. Foto dia dengan Erik di Pengandaran, sewaktu liburan SMP. Dia jadi ingat Erik yang hampir lima tahun belum bertemu, semenjak perkelahian itu, Erik diminta agar sekolahnya pindah ke Surabaya, di rumah bibinya. Dan Erik belum pernah bertemu lagi dengan Boy, setiap Boy ke Surabaya, Erik menghindar dengan menginap di rumah temannya. Begitu pula setiap Erik pulang ke Jakarta, selalu tidur di rumah Nenek. Boy hanya tahu dari mama kalo prestasi sekolah Erik, ancur-ancuran, untungya dia masih bisa kuliah. Terakhir mama cerita kalau Erik bekerja dan akan menikah dengan teman kerjanya. Tak terasa Boy meneteskan air mata mengingat masa-masa mereka yang manis waktu SMP, sampe akhirnya mereka bertemu Vivi. Tapi mereka berpisah bukan karena Vivi, tapi karena kebodohan dirinya dan Erik. Meraka hanya anak-anak SMA yang berandal. Dug, dug dug, pintu kamar kostnya diketuk dari luar. "Boy, ada surat nih" teriak teman kosnya, boy menyeka air matanya sebelum membuka pintu. "Jazakallah khairan" katanya sambil buru-buru ngambil surat itu dan cepet nutup pintu takut ketahuan nangis. Ada dua surat di tangannya. Surat undangan berwarna biru dan merah jambu. Yang pertama dibuka: undangan pernikahan dari Erik. Boy nyaris jejeritan kesenangan, Erik menikah dan mengundangnya, ternyata dia tidak melupakan adiknya. Giliran surat kedua dibuka, dia menahan nafas membuka surat itu, undangan pernikahan Vivi Erningpraja. Boy tersenyum, tidak lagi panas kepala seperti dulu. Alloh jualah yang menentukan segalanya. Erik dengan gadis lain dan Vivi dengan pria lain. Surat itu disimpannya baik baik. Surat dari orang yang masih dan pernah dicintainya dan ternyata tidak pernah melupakan dirinya. Erik dan Vivi, aku akan datang ke pernikahan kalian, Boy janji pada diri sendiri. Tidak ada lagi dendam, tidak ada lagi cemburu. Gorden kamarnya dibuka, Boy ingin menatap langit malam itu. Langit masih biru dan malam mulai gelap, tapi semuanya indah dalam pandanganya yang kini semakin dibukakan oleh Allah. (Iwan)

Dela

“Saudara sebagai seorang ketua sangat tidak bertanggung jawab! Ketika semua bekerja keras, Anda malah tidak datang dengan alasan ketiduran! Ketua macam apa itu!”
Dia berkata dengan keringat yang menetes dan muka merah sambil menunjukkan jarinya kepadaku. Entah bagaimana ekspresi wajahku waktu itu, yang kurasakan hanyalah cengkeraman tangan Adi di bahuku.
“Kami bukannya budak yang dapat saudara suruh seenaknya. Kami di sini belajar berorganisasi, bekerja sama, dan membina persaudaraan, bukannya memupuk sikap diktator dan tak tahu diri!”
“Kamu keterlaluan!” Aku sudah tidak sabar mendengarkan omongannya. Telingaku rasanya terbakar.
“Kamu tidak berhak menuduh saya demikian! Apa buktinya kalau saya bersikap diktator?”
Sungguh di luar dugaan, dia tersenyum! Sungguh! Dia melihat seluruh peserta rapat dengan senyum tipis di bibirnya. Semua peserta terdiam.
“Coba Anda tanyakan pada peserta rapat tentang sikap Anda. Instrospeksi dirilah Bung!” Dia duduk di kursinya. Suara kursi bergeser itu terasa menyakitkan telinga dan ruangan itu kembali sepi seperti kuburan. Kupandangi mereka satu per satu dan mereka hanya menunduk.
Tiba-tiba dering bel mengejutkan kami. Kepala mereka tengadah menatapku. Segera aku berusaha menguasai diriku, “Baik, silakan Pendamping Kelas kembali ke posisi masing-masing dan bagian inspeksi segera bergabung dengan kelompoknya masing-masing!”
Begitu aku selesai bicara, ruangan itu dengan cepat berubah menjadi kosong.
“Raka, ayo, kita harus segera inspeksi!” Kutatap mata Adi, dia menunduk.
“Kamu juga setuju dengan dia Di?”
“Ah sudahlah, jangan dipikir, kerja kita masih banyak.”
Memang benar katanya. Ini adalah hari kedua Penataran P4 siswa baru. Masih ada empat hari lagi. Tapi kata-kata Dela tidak bisa kuabaikan begitu saja. Di dalam organisasi ini dia tergolong orang baru walaupun dia berkemampuan tinggi. Dia tidak seperti aku atau Adi, juga Ratna, Sari, Joko, Fitri, dan Dimas yang sudah dua tahun ikut organisasi di SMU ini. Begitu beraninya dia mempermalukan aku di depan orang banyak. Rasanya aku ingin menonjoknya, untung saja dia cewek.
“Ayo Raka!” Adi sudah tidak sabar.
“Sudah, kamu saja yang inspeksi, aku malas.”
“Lho, Raka!” Kutinggalkan Adi begitu saja.
Ya, memang salahku tidak datang pada hari pertama Penataran P4, dan otomatis Dela sebagai wakilku yang harus menanggung semua itu. Bukankah itu sudah tugasnya? Aku tahu kemampuannya walau dia masih baru, dan itulah sebabnya dia terpilih jadi wakilku. Tapi sungguh tidak adil kalau dia mempermalukan aku sebegitu rupa.
Sejenak kuamati papan pengumuman itu. Rupanya daftar kelas tiga yang baru sudah disusun. Ah, aku memang keterlaluan, aku tahu kalau kertas itu sudah menempel di situ sejak seminggu yang lalu, dan selama itu aku santai-santai di kamarku sambil sesekali nonton tivi dengan mama. Aku memang meninggalkan tugasku begitu saja, dan justru kata-kata Dela yang jujur seolah-olah menelanjangiku di depan orang banyak.
Dela Ardiana! Sialan, aku harus sekelas dengannya. Entahlah, tiba-tiba suatu pikiran jahat menelusup otakku.
***
Dengan cueknya dia mengecat kertas itu. Kuakui dia memang jago melukis. Herannya, orang bilang kalau seniman (yah, setidak-tidaknya dia pantas disebut seperti itu) itu perasaannya halus. Tapi tidak dengannya, dia berkali-kali melakukan tindakan ‘kasar’ seperti menolak cinta seorang laki-laki (yah, dalam hal ini aku tahu dari Adi, karena Adi sendiri pernah ditolaknya) dengan kata-kata yang mengejutkan, muka tak berekspresi dan meninggalkan mereka tanpa salam atau kata-kata halus. Selain itu dia tidak suka bercanda dengan cowok. Kata-katanya pendek-pendek dan tenang, ah, bukan tenang, tapi tegas. Dia juga tidak suka ngumpul-ngumpul di pesta ulang tahun. Benar-benar cewek yang menjengkelkan!
“Aduh!” Dilihatnya cat air merah itu tumpah dan membasahi kertas itu. Dia memandangku dengan tajam.
“Waduh, maaf ya, nggak sengaja, makanya kalau naruh cat jangan sembarangan! Kalau gini, madingnya nggak jadi-jadi!” Dia memalingkan mukanya dan menyobek kertas itu sambil melirikku dengan pandangan mata yang tajam. Sekejap aku merasa seram melihat roman mukanya.
“Mas Raka, ayo pulang dong!” suara manja Tika seolah-olah menyelematkanku dari pandangan mata Dela.
“Ayo!” Kuambil tas ranselku dan kupeluk pinggang Tika menjauh darinya.
“Lho, kok Mas Raka senyum-senyum sendiri?”
“Nggak apa-apa kok Tik.”
Usahaku tidak berhenti sampai di sana. Mading yang tidak yang ditempelnya tiga hari kemudian diam-diam kucopot dan kurobek-robek lalu kubuang di sampah. Kubuat sedemikian rupa sehingga mudah dikenali.
Dan benarlah! Satu sekolah gempar!Dan kulihat wajahnya menegang, merah, berkeringat, dan berkerut-kerut. Sepanjang hari itu dia terlihat gelisah di kelas. Aku tahu hal inilah yang paling membuatnya susah. Dia sangat menghargai karya seni, terutama karyanya sendiri. Apalagi mading itu adalah mading terakhir di penghujung masa tugasnya. Rasakan!

***
“Raka, ada temannya datang!” Mama memanggilku dengan suara soprannya.
“Sebentar Ma! Sialan, siapa yang datang jam segini. Seharusnya mereka tahu kalu jam segini waktuku untuk bersiap-siap untuk apel ke rumah Tika.
Dela tersenyum di kursi merah itu. Kulihat wajahnya berkeringat. Aneh tidak seharusnya orang berkeringat di malam seperti ini.
“Maaf mengganggu Raka.”
“Ya, ada apa?”
Dia mengetuk-ngetukkan jarinya di lengan kursi.
“Dela mau minta maaf. Dela merasa bersalah karena mading…” dia menatapku, aku mencoba tenang sambil mengangguk-anggukkan kepalaku.
“Sudahlah, memang jahat orang yang melakukan itu, tapi aku sudah maklum kok Del.” Aku ingin segera menyelesaikan pembicaraan. Aku ingin dia pergi secepatnya dari hadapanku.
“Terima kasih. Ah, iya, Dela mau minta tolong sama Raka.”
“Ya?” Aku mulai curiga.
“Sebentar.” Dela keluar, kuikuti dia. Dia berjalan ke Katana merahnya dan kembali dengan sebuah gulungan kertas.
“Ini, maaf kalau tidak sebagus yang dulu, Dela sudah mulai ada try out.”
“Lalu?”
“Tolong Raka yang menempelkan, mungkin lebih aman. Tak ada yang berani menyobek kalau Raka yang menempelkan kan?” Dia tersenyum. Sungguh! Senyumnya membuatku merasa seperti ditusuk-tusuk sebilah pisau tajam. Dia seperti tahu semuanya. Dia seolah-olah menganggapku anak kecil yang ketahuan berbohong kepada ibunya.
“Ma kasih ya Ka, Dela pulang dulu.” Dia pergi dengan kepulan asap mobilnya.
Aku sudah tidak ingin pergi ke rumah Tika, juga menerima telepon dari Adi atau Irwan yang mengajakku jalan-jalan.

***
Entahlah, sejak saat itu aku sangat suka melihatnya. Kuperhatikan bagaimana eskpresi mukanya ketika mendengar sesuatu yang lucu. Keringatnya yang menetes ketika sinar matahari begitu kejam meradiasi kulitnya yang kuning langsat, juga bagaimana dia selalu bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan guru. Sesungguhnya dia sangat cerdas dan berani. Dia juga agak pendiam. Dia tidak suka mendengar pembicaraan yang kacau atau ngerumpi seperti biasa yang dilakukan cewek-cewek. Dia juga tidak pernah naik Katana-nya ke sekolah. Dia lebih suka membonceng di belakang Rahma, teman sebangkunya yang berjilbab itu, dan dia suka sekali berjalan-jalan ketika istirahat. Entah ke kantin, ke perpustakaan, atau sekadar berjalan!
“Lihat apa Ka?” Sodokan lengan Adi membuatku kaget. Aku diam.
“Kamu lihat-lihat Dela lagi.” Nadanya seperti mengeluh.
“Aku tidak suka kalau kau mengejarnya, kamu sudah cukup menyakitinya!”
“Siapa sih yang ingin dekat dengan anak sombong seperti dia?” Adi menatap mataku tajam-tajam. Matanya menyelidik seolah-olah ingin menelanjangiku.
“Kita duel pulang sekolah nanti di rumahku!” Lalu Adi berdiri dan permisi ke belakang.
Sudah kesal rasanya menjelaskan pada Adi bahwa aku tidak bermaksud mendekati Dela dan memujanya. Dia selalu bilang padaku bahwa dia tidak pernah tergila-gila pada seorang perempuan seperti itu.
“Kamu suka dia! Bangsat! Pengecut!” Tiga hantaman dari tangannya yang berat menghantam rahangku.
Aku tahu kalau aku akan kalah. Dia pandai berkelahi, dan terlebih dia ikut karate sejak SMP.
“Ayo ngomong! Satu tinju lagi mendarat di perutku.
“Di, sudah! Sudah!” Tak ada yang dapat kuperbuat selain menghindar. Tak ada yang akan memberiku pertolongan walaupun aku menjerit sekuat tenaga. Halaman rumah Adi luasa, dan rumahnya kosong! Pembantu-pembantu itu tak akan bisa berbuat apa-apa.
“Ngomong bangsat!” Lalu satu pukulan lagi. Dan aku terkapar!
“Oke, oke, kamu benar! Oke!” Kurasakan nafasku hampir mencekik tenggorokanku.
“Ya, aku mulai menyukai dia! Ya, mungkin aku jatuh cinta padanya!” Mataku terasa berkunang-kunang.
“Pulanglah!” Dia melemparkan ranselku dan sebuah agenda. Kucoba untuk duduk di rerumputan itu. Seorang pembantu Adi yang kutahu bernama Inah membawakan segelas air es.
“Agenda siapa ini?”
“Dela.”
“Dari mana kau dapatkan dini?”
“Kamu tak usah tahu. Buka halaman terakhir!”
Kubuka agenda hitam berlogo OSIS itu. Sebaris puisi tertulis dengan rapi:

Pertengkaran
Untuk Raka

Atmosfir dingin melingkupi kamiBukan hal yang terbaik dari keinginankubicara jujuritu sajakarena selebihnya aku cinta padamuDan kau mengembalikan cintaku dengan sebuah tusukan jitutepat di nyawaku
Surabaya, 26 Agustus 1997


Tiba-tiba perasaanku sangat kacau. Kulihat wajah Adi, sebuah genangan air di sekitar matanya.
“Di, kamu?”
“Ya, aku menangis. Kau sudah tahu kan sekarang? Pergilah! Pulanglah!” Suaranya bergetar, aku tahu dia sangat sedih.
Dengan langkah gontai kutinggalkan Adi yang menekuk mukanya. Kepalaku masih pusing dan kurasakan darah menetes di sela bibirku.
***
Sungguh di luar dugaanku. Kukira Dela tidak punya perasaan dan kaku. Kukira dia selama ini sebuah patung agung yang hanya bisa kupandang. Ya Tuhan…., ternyata dia mencintaiku.
Aku tak bsia bersikap ketika pagi itu dia masuk dengan sikap yang biasa dan mengucapkan salam. Aku tak pernah tahu dia sebegitu pandai berakting sehingga perasaannya seolah tak ada.
Ah, bodohnya aku! Bukankah pandangan matanya waktu itu, ketika di datang ke rumahku, keringatnya yang menetes di malam yang sedingin itu….Ah, sialan! Aku tak bisa menebaknya. Aku tak akan tahu kalau Adi tidak menunjukkan agenda itu padaku.
Adi……., dia pindah ke bangku belakang sejak pertengkaran kami siang itu. Sekarang aku duduk sendiri. Aku memang tak seberuntung Adi yang mudah disukai siapa saja.
Aneh memang kalau Dela menolak cowok seperti Adi. Apa kurangnya dia? Dia keren, tinggi, putih, cerdas, dan beken. Dengan penasaran kubuka sebuah buku tulis tebal di bangku Dela. Waktu itu kelas sepi. Hanya ada Retno dan Fajar yang asyik pacaran. Dan seperti dugaanku buku itu penuh dengan puisi dan coretan. Beberapa kali kuperhatikan dia menulis sesuatu dengan serius di buku itu, dan karena itulah aku curiga dan penasaran dengan isinya. Kubalik lembarannya dengan cepat.

Maaf
kepada Adi

gumpalan kata yang kau ucapkan waktu itu…

beberapa kali mengendap di hatiku
walau kau tahu betapa tenangnya akuAllah….

Cepat-cepat kubalik lagi lembaran kertas itu, aku ingin menemukan puisinya tentang diriku di buku itu.
Untuk Raka:
Pergilah dengan tenangTuhan…., berdosakah aku?Tuhan…., dia memandangkutajam seperti elangmenyayatku menjadi tujuh bagian dan membawaku ke nerakaTuhan….., bencinta menggunungdan diabodoh!Ya Allah!berikan sedikit kasih-Mu untuk mengusirnya dari hatikuPergilah kau dengan tenang.
Surabaya, 10 September 1997
Ah, bukankah ini adalah waktu dia tahu kalau madingnya kusobek? Tiba-tiba terlonjak ketika mendengar suaranya. Cepat-cepat kututup buku itu dan berpura-pura mencoret sebuah kertas kosong.
“Raka, pindah sana, aku mau duduk”
Apa ini, tak kudengar geratan suaranya ketika dia menyebut namaku. Dia bersikap biasa. Bahkan matanya juga terlihat tenang. Apa maksudnya? Bukankah dia seharusnya gugup karena aku ada di kursinya, terlebih-lebih buku tebalnya ada di hadapanku? Bukankah seharusnya dia curiga?***
Aku benar-benar penasaran dengan Dela. Dia teramat tenang untuk gadis yang sedang jatuh cinta. Tika sudah kuputus dua hari yang lalu. Masih jelas dalam ingatanku wajahnya yang memelas dan air matanya yang turun satu-satu.
“Memangnya Tika salah apa sama Mas Raka, Mas?”
“”Tika nggak salah”
“Lalu, apa alasan Mas mutusin Tika?” dia terisak.
“Nggak ada.”
“Bohong! Tika tahu Mas bohong! Mas Adi bilang kalau Mas Raka jatuh cinta sama Mbak Dela.” Aku diam, aku tidak bisa membantahnya. Haruskah aku berbohong?
“Seharusnya Tika tahu kalau semuanya bakal begini, seharusnya Tika tahu!” Kubiarkan dia pergi meninggalkanku. Dia lari ke kamarnya. Dan dengan kikuk aku pamit pulang kepada mamanya. Mamanya tahu semuanya. Dia memandangku dengan benci. Tapi walau bagaimanapun ini adalah keputusanku. Tidak bsia aku membiarkan Tika tersiksa terus menerus oleh sikapku yang acuh sejak aku membaca puisi-puisi Dela. Sejak aku jatuh cinta. ***
Sedikit gelisah aku memperbaiki sikap dudukku. Dela mendekatiku dengan langkah yang biasa (itu yang tak kusuka darinya). Dia membawa selembar kertas bergaris biasa, mungkin sobekan dari salah satu bukunya. Dia tersenyum sambil meletakkan kertas itu di atas mejaku.

Buat Raka:
Perpisahan
Bertemu adalah untuk berpisahMelalui matakutahu, kita berdosa….Masa bergerak menebas kita tanpa ampunDan sebagian dari kita terlibasMati!Dalam sepiTelusuri tasbih dan asma suci-NyaKembali
KembalilahDalam pelukan-NyaKita berpisah untuk bertemuwalau sepahit apapunberpisah untuk dipertemukan-Nyabila kau percayadan Dia berkehendak
Dela

Aku terlongo setelah membaca tulisan itu. Rupanya ini balasan dari surat cinta yang kukirim kemarin. Dan keesokan harinya kulihat dia memakai jilbab panjang dan duduk dengan manis di kursinya. Dan diam. Dia tak lagi menatapku dengan pandangan yang tajam. Dan aku berusaha tidak menatapnya sejak saat itu. Aku tahu, aku terlalu kerdil untuknya.Gresik, 12 Nopember 1997

Tuesday, May 17, 2005

muhasabah

Fulan terus melangkah…. Bersama dengan teman-teman barunya. Ryan(anaknya keren abis tapi die tuh suka bolos `n cabut apalagi kalo pelajaran yang bikin Bete`), Fama….. anaknya asik dan gaul tapi doi jarang banget mengeksposkan wajahya dikelas alias kaga`pernah masuk. Dan Yua…yang jayus dikelas yang udah mulai sadar akan arti penting sekolah….
Matahari menyertai angin yang bersama,menyambut Pembicaraan keempat orang itu. Ryan ngajak fulan untuk ngadubola ama tementemennya diuI hari jum`at,sedangkan fama ama yua Mo ngajakin janjian cabut pas istirahat hari jum`at dari sekolah(Tu orang sebenarnya mo niat sekolah apa kaga sich….?!),setelah dibujuk bujuk akhirnya fulan tetep kekeh nolak ajakan tementemennya untuk cabut.

Jum`at pagi ini smuda ,ngga ada yang beda seperti harihari biasanya murid murid datengnya pada siangan atawa pada ngaret padahal jadwal yang dibuat dari sekolah ngga` seperti itu. Si Fulan sudah dateng dari tadi pagi soalnya, kalo ngga` datengnya pagian `ntar kaga dapet mobil (maklumlah rumahnya jauh….).
oh iya sifulan ini tuh katanya sih anak rohis lho …!! `n yang pasti die tuh ikut ngaji juga…
Sang ikhwan Rohis yang duduk didepan memang ngga`pernah nyadar ama perasaan fulanah, padahal sama-sama anak rohis(Mmm….mungkin kurang kepedulian social kali yee….)
Fulanah baru-baru sekarang ini ngerasa ada yang aneh pada dirinya. Dai piker apa pantas setiap aktivitasnya terlihat orang lain. Dia kan rohis,pikirnya , ahh… yang jelas rohis tuh kan ngga gaul ama rohis aja , tapi kudu berbaur ama yang laen….
Fulanah yang kurang sreg ngeliat fulan , pengen bertindak tapi maluuuu…. Mo ngomong ama ikhwan yang duduk dideapnnya yang kaga` da kepedulian sosia…..terus gimana doonk….???
Hari jum`at itu fulan ngga` jarang bercanda ama ryan , kalo si yua ama fama sih udah jeals ngga` masuk sekolah tu……
Melihat kelakuan `n tingkah laku fulan yang makin menyimpang atawa terlalu bebas membuat fulanah tambah gedeken kurang sreg, sedangkan sifulan dari tadi Udah mikir-mikir … boleh doonk rohis saya aktif ..yaa.. ama temen-temen kudu juga aktif
Teett…..tett
Bel pulang sekolah udah berbunyi…..fulan udah ke mesjid nuril untuk sholat jum`at sedangkan surat udah diselipin ama fulanah ,ditasnya fulan waktu istirahat….. sukses nih..
Setelah sholat jum`at fulan pulang , kebetulan pekan ini ngga` ada mentring so dia bias lang sung pulang. Fulan menunggu angkot yang langsung kesimpangan …. Soalnya kalo keposek dulu onkosnya banyak .
Waktu ngambil uang ditas (buat ongkos …!!)fulan menemukan secarik kertas, terus dibaca deh

Assalamu`alaikum
Akhi
Hidup itu sebuah perjalanan
Setiap perjalanan memiliki rintanagan yang memaksa seseorang untuk bertahan
Untuk menghadapi rintangan selalu memerlukan pejuangan
Dan didalam perjuanganitu pengorbanan
Hidup itu memang sempit
Namun tak berarti hidup itu pelit
Tinggal bagaimana seseorang dapat menampik
Rintangan dalam dunia kehidupannya yang terapit

Dua apitan membentuk satu pertemuan
Satu kebaikan dan satu keburukan
Jalan dakwah hidup ini memang menentukan
Ketika ikwah mulai menemukan 1 titik penerangan

Mungkin hari ini antum sedang futur
Tapi tidak berarti antum tidak bisa tergoyah untuk mengatur
Sebab futur, terkadang dipandang orang lain sedang hancur

Mungkin hari ini antum sedang beriman
Tapi tidak berarti antum tidak bisa berbuat penyimpangan
sebab iman adalah kepemilikan dalam urgensi dakwah kehidupan
dimana ia bisa berada dibatas , diambang dan dibawah kewajaran
dan proporsionalisasi keimanan itu memang menyulitkan
terkadang iman antum memuncak
namun saat itu situasi antum pun seolah terkoyak
maka tak terelakkan lagi keimanan antum pun ikut bergerak
mengikuti situasi sekitar yang berpindah jarak

Mungkin hari ini, saat ini, waktu ini, detik ini antum mulai berfikir
Keimanan itu memang bertahap akan terkikir
Namun disisi lain keimananitu pun dapat terisolir
Oleh urgensi dan keaktifan dakwah antum
Yang terus bergulir……

Wassalam



Fulan memegang erat surat itu, ternyata dirinya telah jauh melangkah dan alhamdulillah masih ada yang perduli….. . saking merenung nya die tuh kelewatan turunnya……. Harus nya sih turun di BBM tapi angkotnya udah nyampe ke graha prima……yaaa..kelewatan jauh nih…mana ngga` ada ongkos lagi..
Tapi ngga` papa deh……
Fulan kemudian menyebrang, dalam perjalanannya air matanya berlinang ternyata selaam ini dia diperhatiakan,
begitu jauh diaberenang menyebrang lautan kebaikan
hingga begini yang jadi akhiran

“ astagfirullah…. Ampuni segala kesalahan ku ya…Allah”. Fulan terus bergumaam
tibatiba….. sebuah sedan civic melaju dengan kencang tan takdapat mengatur kecepatannya(maklum lah orang tikungan….), dan mobil itu menyerempet fulan yang berada dipinggir jalan . fulan punterlempar jauh terpisah dari tas alpinanya,namun sepucuk suratitu masih tergenggam ditangannya
dan ia masih sempat bergumam
“ laa ilaa ha…illallah…”
matahari mulai menjauh
awan mendung mampir ditinkungan graha prima
hujan pun turun memberkati fulan



Hafar Muthmainah
Buat semuanya ….!!!Taubat yukk...

jodoh

Wei Ku telah beranjak dewasa. Sudah saatnya ia mencari gadis yang baik untuk dijadikan istri. Tapi sampai saat ini, ia belum juga berhasil. Bukan suatu hal yang aneh. Ia memang terlalu mempertimbangkan bibit-bebet-bobot calon istrinya. Maka, saat angin semi mulai bertiup ke dataran Cina pada tahun 807, Wei Ku melakukan perjalanan ke Tsing-Ho.
Di tengah perjalanan, Wei Ku memutuskan untuk beristirahat di sebuah rumah penginapan yang berada di Gerbang Selatan Sung-Cheng. Kebetulan ia bertemu dengan teman sekolahnya dulu. Maka Wei Ku tak segan untuk menceritakan maksud perjalanannya itu. Seperti gayung bersambut, temannya menyarankan Wei untuk mencoba melamar anak gadis keluarga Pan. Menurut temannya itu, keluarga Pan adalah keluarga yang status sosial ekonominya sederajat dengan Wei. Lagipula, gadis itu sangat cantik dan terpelajar. Wei girang bukan main.
Sebelum berpisah, teman Wei berjanji untuk mempertemukannya dengan 'Pak Comblang' dari keluarga Pan di Lung-Shing, esok pagi. Pak Comblang inilah yang akan meneruskan data pribadi Wei kepada gadis tersebut. Bila keluarga itu berkenan menerimanya, maka Wei akan segera berkenalan, sebelum lamaran resmi atau khitbah diajukan.
Kegembiraan yang meluap-luap memenuhi rongga dada Wei. Dibentangkannya sajadah, lalu ia mulai sholat istikhoroh. Baru kali ini Wei merasa melakukannya dengan sepenuh hati, dengan kepasrahan yang murni ... Ah. Tak terasa air mata Wei berjatuhan. Diam-diam menyelinap suatu penyesalan. Mengapa ia baru bisa khusyu' dan dapat merasakan ikatan yang erat dengan Allah, ketika ada masalah berat dan serius yang harus ia hadapi ? ...
***************
Waktu subuh belum lama berlalu, namun Wei telah bersiap untuk pergi menemui Pak Comblang. Makin cepat makin baik, pikirnya. Di bawah sinar bulan sabit yang kepucatan, Wei bergegas menuju Lung-Shing. Fajar belum juga merekah ketika Wei sampai di tempat yang dijanjikan. Sepi sekali. Nyanyian jangkrik perlahan menghilang. Wei benar-benar sendirian. Di tengah kegamangan hatinya, Wei mencoba mengitari bangunan itu. Seperti sebuah musholla kecil. Cahaya lilin yang memantul di sela-sela kaca jendela, membangkitkan rasa ingin tahunya.
Wei berjingkat ke arah jendela. Ditempelkan matanya ke celah-celah ...
"Hei, masuklah!"
"Jangan mengintip seperti itu!"
Wei tersentak. Rasa malu, kaget dan takut berbaur menjadi satu.
"Ayo, masuklah. Jangan takut!"
Suaranya lebih lembut namun tetap berwibawa. Wei ragu-ragu. Tetapi rasa ingin tahu sedemikian menyerbunya. Akhirnya ia memberanikan diri melangkah ke dalam.
"Kemarilah!" ajaknya tanpa melihat muka Wei.
Wei memperhatikan dengan penuh seksama. Laki-laki itu belum terlalu tua, tapi wajahnya memancarkan kebaikan yang seolah-olah bersumber dari seluruh aliran darahnya. Bijak, arif, lembut namun tegas. Tentulah ia pengemban amanah yang luar biasa, pikir Wei.
Laki-laki itu duduk di atas permadani sambil membaca sebuah buku. Lalu ia berkata perlahan: "Belum saatnya Wei.... Belum saatnya." Wei menatap wajahnya dengan penuh kebingungan.
Lalu laki-laki itu kembali melanjutkan. Kali ini ditatapnya Wei dengan ketajaman jiwa. "Kau tahu? Semenjak seseorang ada dalam kandungan ibunya, Allah Ta'ala telah menetapkan 3 hal untuknya. Kau sudah tahu bukan! Salah satu di antaranya adalah jodohnya.. pasangan hidupnya."
"Hmmmm..... seperti benang sutera."
"Ya, seperti benang sutera yang diikatkan di antara mereka berdua. Kepada kaki laki-laki atau bayi perempuan yang lahir dan ditakdirkan berjodohan satu dengan yang lainnya. Begitu simpul diikatkan, maka tak ada suatu hal pun yang dapat memisahkan mereka."
"Salah seorang diantara mereka mungkin saja berasal dari keluarga yang miskin, sedang yang lainnya dari keluarga yang kaya. Atau mereka terpisah bermil-mil jaraknya, bahkan mungkin ada yang berasal dari dua keluarga yang saling bermusuhan. Tapi pada akhirnya, bila saatnya telah tiba, mereka akan menjadi suami istri. Tak ada suatu hal pun yang dapat mengubah takdir itu." Laki-laki itu terdiam sesaat. Wei kini sudah sepenuhnya duduk terpekur di hadapannya. Kalimat demi kalimat disimaknya dengan seksama.
"Jodoh adalah masalah yang paling ajaib dan paling gaib. Suatu rahasia kehidupan yang tak akan pernah tuntas untuk dimengerti. Bayangkan. Dua anak yang berbeda, tumbuh di lingkungannya masing-masing. Sebagian besar mungkin tidak menyadari kehadiran satu dengan lainnya. Tapi bila saatnya tiba, mereka akan bertemu dan mengekalkan ikatannya dalam tali pernikahan."
"Kalau ada wanita atau laki-laki lain yang muncul di antara keduanya, ia akan terjatuh. la tak akan mampu melewati bentangan tali sutera yang telah diikatkan pada mereka. Ah, kau pasti pernah melihat orang yang patah hati bukan? Hhh, sebagian orang yang bodoh dan tak kuat menahan cobaan, memilih mati daripada patah hati. Bukan takdir yang memilihnya untuk bunuh diri. Itu pilihannya sendiri, ia cuma tak sabar menanti saat pertemuan itu datang."
"Ketahuilah, Wei. Masalah jodoh adalah rahasia Allah. Kau harus dapat berdamai dengan takdirmu."
"Bagaimana dengan aku!" sela Wei. "Apakah aku akan berhasil menikah dengan anak gadis dari keluarga Pan? Apakah ia takdirku?" tanyanya tak sabaran. Laki-laki itu tersenyum.
"Belum saatnya Wei. Belum saatnya. Suatu saat nanti, kau akan menikah dengan seorang gadis shalihat, cantik dan pintar. Pun dari keluarga yang terhormat. Kelak, setelah menikah, kalian akan mempunyai anak laki-laki. Dan anakmu akan menjadi pedagang yang terpelajar. Ia dermakan kekayaannya untuk agama Allah. la juga akan menjadi anak yang senantiasa memelihara kedua orang tuanya. Meskipun kalian sudah tua renta nanti. Hal ini tak lepai dari peranan ibunya dalam mendidik anak itu."
"Tapi itu nanti. Bila calon istrimu telah mencapai usia 17 tahun. Sayangnya, saat ini dia masih berumur 7 tahun."
"Hah!" Wei kebingungan. "Jadi saya harus membujang selama 10 tahun ?!" Wei menatap tak percaya. Ia berharap semua hanya kemungkinan karena ia salah dengar saja. Wei mencari kesungguhan di sana. Tapi semua sia- sia. Air muka laki-laki itu tak berubah sedikit pun. Dan Wei menyadari semua adalah kebenaran.
"Kalau begitu, di mana dia sekarang? Dimana saya dapat menemui calon istri saya? Tolonglah?!" Wei memohon padanya. "Oh, gadis itu tinggal dengan wanita penjual sayur. Tak jauh dari sini. Setiap pagi, wanita itu datang ke pasar dan menjajakan sayurannya di sebelah kios ikan." Kukuruyukkkkk ... !! Suara nyaring ayam jantan memecah keheningan. Wei tersentak.
Kukuruyukkkkk...! ! Kokok nyaring ayam jantan membangunkan Wei dari tidurnya. Ah, rupa-rupanya ia tertidur di atas sajadah. Alhamdulillah, waktu subuh belum habis. Wei bersegera mengambil wudhu. Sehabis sholat subuh, Wei kembali teringat mimpinya. Seolah semua menjadi teka-teki. Wei belum tahu apakah harus menganggapnya sebagai jawaban atas sholat istikhorohnya atau tidak. Untuk mcnyingkap tabir mimpi itu, cuma ada satu cara yang bisa dilakukannya: mencari gadis kecil yang katanya calon istrinya itu!
Lalu Wei pun bergegas ke pasar terdekat. Sepanjang jalan ia berdoa dan berjanji. Berdoa agar calon istrinya memang benar-benar baik bibit, bebet dan bobotnya. Sebagaimana telah diisyaratkan dalam mimpi. Dan berjanji untuk menerima takdirnya dan berusaha menjadi muslim yang baik. Lebih baik dari kualitasnya sekarang. Fajar telah lama merekah saat Wei tiba di sana. Orang-orang mulai melakukan kegiatannya. Pembeli mulai berdatangan. Ramai. Namun belum seramai satu jam yang akan datang. Maka Wei lebih leluasa untuk mengamati sekitarnya. Matanya berkeliling mengitari pasar, lalu tertumbuk pada sosok kecil di samping kios ikan.
Wanita itu tua, kotor, lusuh. Kumal. Rambutnya telah keabu-abuan. Dengan sebelah mata tertutup lapisan katarak, ia duduk di selembar alas sambil menggendong bocah kecil di dadanya. "Oh, tidak!! Bagaimana mungkin?! Ini pasti kekeliruan!" Wei menatap kembali bocah terlantar yang kurus kering itu. Hatinya hancur. Ah, mimpi semalam benar-benar hanya bunga tidur.
Wei kembali ke penginapannya dengan hati lesu. Kali ini bukan saja ia kecewa karena calon istrinya ternyata hanya seorang bocah gelandangan, tapi juga karena 'Pak Comblang' dari keluarga Pan tidak datang pada pertemuan yang ia janjikan. Tanpa suatu penjelasan apapun. Ah, sudah jatuh dari tangga, tertimpa genteng pula!
Saya adalah seorang yang terpelajar. Sudah selayaknya saya mendapatkan seorang gadis dari keluarga terhormat. Semakin lama Wei memikirkan hal tersebut, semakin jijik ia membayangkan kemungkinan menikahi bocah kumal itu. Benar-benar menggelikan. Wei khawatir hal tersebut benar-benar akan terjadi. Dan ia tidak dapat tidur semalaman.
Keesokan hatinya. Wei pergi ke pasar bersama dengan pelayan setianya. Wei menjanjikan imbalan yang sangat besar apabila ia berhasil membunuh bocah kumal itu. Wei dan pelayannya berdiri di belakang pembeli. Begitu kesempatan datang, pelayan Wei menikamkan pisaunya ke arah si anak, lalu mereka kabur. Bocah kecil itu menangis dan wanita buta yang menggendongnya berteriak-teriak: "Pembunuh! Pembunuh!" Kegemparan segera menyebar ke seluruh penjuru pasar.
Sementara itu, Wei dan pelayannya telah lenyap dari tempat kejadian. "Kau berhasil membunuh dia?" tanya Wei terengah-engah. "Tidak," jawab pelayannya. "Begitu saya menghunjamkan pisau ke arahnya, anak itu berbalik secara tiba-tiba. Saya rasa saya hanya melukai mukanya. Dekat alisnya."
Wei segera meninggalkan penginapan. Kejadian itu dengan segera terlupakan oleh masyarakat sekitar. Ia kemudian pergi ke arah Barat menuju ibukota. Karena kecewa dengan kegagalan pernikahannya, Wei memutuskan untuk berhenti memikirkan perkawinan. Tiga tahun kemudian Wei dijodohkan dengan gadis yang mempunyai reputasi baik yang berasal dari keluarga Tian. Sebuah keluarga yang cukup terkenal di masyarakat sekitar. Anak gadisnya terpelajar dan sangat cantik.
Semua orang memberi selamat pada Wei. Persiapan pernikahan tengah dilangsungkan, ketika suatu pagi Wei menerima berita yang menyakitkan. Calon istrinya melarikan diri dengan laki-laki yang dicintainya. Mereka berdua telah menikah di kota lain. Selama dua tahun Wei berhenti memikirkan pernikahan. Saat itu ia berusia dua puluh delapan tahun. Ia berubah pikiran tentang mencari pasangan dari masyarakat yang sekelas dengannya; seorang gadis kota terpelajar.
Maka Wei pergi ke pedesaan, mencari suasana baru. Di desa, Wei menghabiskan waktu dengan mempelajari buku-buku. Suatu hari ia membawa bukunya ke sungai di dekat ladang, agar lebih nyaman membacanya. Tanpa sengaja ia melihat gadis desa yang sedang memanen kentang. Wei jatuh hati padanya dan bersegera menemui orang tua gadis itu. Gayung bersambut, gadis itu menerima lamarannya. Maka Wei bergegas ke kota untuk membeli perhiasan dan baju sutera serta segala persiapan pernikahan. Selama beberapa hari, Wei berkeliling mengunjungi saudara-saudaranya untuk mengabarkan berita gembira itu.
Seminggu kemudian ia kembali ke desa. Tapi yang ditemuinya hanya kabar buruk tentang sakitnya sang calon. Wei bersedia menunggu sampai ia sembuh. Sampai setahun hampir berlalu, penyakit calon istrinya malah semakin parah. Gadis itu kehilangan seluruh rambutnya dan menjadi buta. Ia menolak menikahi Wei dan berpesan pada orang tuanya untuk meminta Wei melupakan dia. Ia mohon agar Wei mencari gadis lain yang layak untuk dijadikan istri.
Tahun demi tahun berlalu, sampai akhirnya Wei mendapatkan calon yang sempurna. Bukan saja ia cantik dan masih muda, tapi juga pencinta buku dan seni. Tak ada rintangan, khitbah pun segera dilangsungkan. Tiga hari sebelum pernikahan, gadis itu terjatuh dari tangga dan mati. Sepertinya nasib mengolok-olokkan Wei. Wei Ku menjadi fatalis. Ia tidak lagi peduli pada wanita, ia hanya bekerja dan bekerja. Sekarang ia bekerja di kantor pemerintahan di Shiang-Chow. Mengabdikan diri pada tugas dan sama sekali berhenti memikirkan pernikahan. Tapi ia bekerja dengan sangat baik, sehingga atasannya, Hakim Tai, terkesan pada dedikasi dan kesungguhannya. Lalu mengusulkan Wei untuk menikahi keponakannya. Pembicaraan itu sangat menyakitkan Wei.
"Mengapa Tuan mau menikahkan keponakan Tuan pada saya! Saya terlalu tua untuk menikah."
Pejabat itu menasehati Wei tentang keburukan membujang. Lagipula menikah adalah sunnah Rasulullah. Maka Wei menyetujuinya, meskipun ia sama sekali tidak antusias. Wei benar-benar tidak melihat istrinya sampai pernikahan benar-benar selesai dilangsungkan. Istrinya ternyata masih muda, Wei lega melihatnya. Tingkah lakunya sangat baik dan Wei harus mengakui bahwa ia adalah istri yang sangat baik. Taat, sholihat dan selalu menyenangkan. Sama sekali tidak ada alasan untuk tidak menyukainya.
Bila di rumah, istrinya selalu menata rambut dengan cara yang khas, sehingga menutupi pelipis kanannya. Menurut Wei, dengan tata rambut seperti itu istrinya kelihatan sangat cantik, tetapi ia agak heran. Tak kurang dari satu bulan, Wei telah benar-benar jatuh cinta kepadanya. Suatu saat ia bertanya, "Mengapa dinda tidak mengganti gaya rambut sekali-kali? Maksudku, mengapa dinda selalu menyisirnya ke satu arah?"
Istri Wei menyibakkan rambutnya dan berkata, "Lihatlah!" Ia menunjuk ke luka di pelipis kanannya.
"Bagaimana bisa begitu?"
"Aku mendapatkannya saat berumur tujuh tahun. Ayahku meninggal di kantornya, sedangkan ibu dan abangku meninggal dunia pada tahun yang sama. Kemudian aku dirawat oleh ibu susuku. Kami mempunyai rumah di dekat Gerbang Selatan di Sung-Cheng, dekat kantor ayahku. Suatu hari, seorang pencuri tanpa alasan apa pun, mencoba membunuhku. Kami sama sekali tidak mengerti, kami tidak pernah punya musuh. Ia tidak berhasil, tapi ia meninggalkan luka di kepala sebelah kananku. Karena itulah aku selalu menutupinya darimu."
"Apakah ibu susumu hampir buta?"
"Ya. Kok tahu?"
"Akulah pencuri itu. Ah, tapi bagaimana mungkin! Semua begitu aneh. Semua terjadi, seperti ada yang telah mentakdirkan."
Wei kemudian menceritakan semuanya. Bermula dari mimpinya setelah ia sholat istikhoroh, sekitar sepuluh tahun yang lalu. Istrinya juga bercerita, ketika ia berusia sembilan atau sepuluh tahun, pamannya menemukan ia di Sung-Cheng dan mengambilnya untuk tinggal bersama keluarganya di Shiang-Chow.
Akhirnya mereka menyadari bahwa pernikahan mereka adalah sebuah takdir yang telah digariskan Allah Ta'ala. Wei menangis. Ia malu pada Penciptanya. Malu pada kesombongannya untuk menentang takdir. Ah ... pada saat itulah, Wei menyerahkan segala urusannya kepada Allah. Tapi kenapa ketika ia mendapatkan petunjuk, ia malah mengingkarinya ?
Saat itu juga, Wei melakukan sholat taubat. Untuk menjadi mukmin yang baik. Begitulah, kasih sayang di antara mereka kian tumbuh subur. Setahun kemudian lahirlah anak laki-laki. Istri Wei mendidiknya dengan sangat baik. Setelah dewasa, ia menjadi seorang yang terpelajar. Usahanya di bidang perdagangan maju pesat. Ia sangat penyantun dan terkenal kedermawanannya.
Ketika sang anak menjadi gubernur, Wei Ku telah lanjut usia. Anak dan istrinya tetap setia memelihara dan mencintainya. Di tempat mereka pertama kali bertemu, empat belas tahun sebelum pernikahan, anak Wei membangun tempat peristirahatan untuknya.
(retold by : Lin Yu Tang / Ulan)

Lelaki yang gelisah

Dari pinggir kaca nako, di antara celah kain gorden,saya melihat lelaki itu mondar-mandir di depan rumah.Matanya berkali-kali melihat ke rumah saya.Tangannyayang dimasukkan ke saku celana, sesekali mengelapkeringat di keningnya. Dada saya berdebar menyaksikannya. Apa maksud remaja yang bisa jadi umurnya tak jauh dengan anak sulung saya yang baru kelas 2 SMU itu? Melihat tingkah lakunya yang gelisah, tidakkah dia punya maksud buruk dengan keluarga saya? Mau merampok? Bukankah sekarang ini orang merampok tidak lagi mengenal waktu? Siang hari saat orang-orang lalu-lalang pun penodong bisa beraksi, seperti yang banyak diberitakan koran. Atau dia punya masalah dengan Yudi, anak saya?
Kenakalan remaja saat ini tidak lagi enteng. Tawuran telah menjadikan puluhan remaja meninggal. Saya berdoa semoga lamunan itu salah semua. Tapi mengingat peristiwa buruk itu bisa saja terjadi, saya mengunci seluruh pintu dan jendela rumah. Di rumah ini, pukul sepuluh pagi seperti ini, saya hanya seorang diri. Kang Yayan, suami saya, ke kantor. Yudi sekolah, Yuni yang sekolah sore pergi les Inggris, dan Bi Nia sudah seminggu tidak masuk.
Jadi kalau lelaki yang selalu memperhatikan rumah saya itu menodong, saya bisa apa? Pintu pagar rumah memang
terbuka. Siapa saja bisa masuk.
Tapi mengapa anak muda itu tidak juga masuk? Tidakkah dia menunggu sampai tidak ada orang yang memergoki?
Saya sedikit lega saat anak muda itu berdiri di samping tiang telepon. Saya punya pikiran lain. Mungkin dia sedang menunggu seseorang, pacarnya, temannya, adiknya, atau siapa saja yang janjian untuk bertemu di tiang telepon itu.
Saya memang tidak mesti berburuk sangka seperti tadi. Tapi dizaman ini, dengan peristiwa-peristiwa buruk,
tenggang rasa yang semakin menghilang, tidakkah rasa curiga lebih baik daripada lengah?
Saya masih tidak beranjak dari persembunyian, di antara kain gorden, di samping kaca nako. Saya masih was-was karena anak muda itu sesekali masih melihat ke rumah. Apa maksudnya? Ah, bukankah banyak pertanyaan di dunia ini yang tidak ada jawabannya.
Terlintas di pikiran saya untuk menelepon tetangga.Tapi saya takut jadi ramai. Bisa-bisa penduduk se-kompleks mendatangi anak muda itu. Iya kalau anakitu ditanya-tanya secara baik, coba kalau belum apa-apa ada yang memukul.
Tiba-tiba anak muda itu membalikkan badan dan masuk ke halaman rumah. Debaran jantung saya mengencang kembali. Saya memang mengidap penyakit jantung. Tekad saya untuk menelepon tetangga sudah bulat, tapi kaki saya tidak bisa melangkah. Apalagi begitu anak muda itu mendekat, saya ingat, saya pernah melihatnya dan punya pengalaman buruk dengannya. Tapi anak muda itu tidak lama di teras rumah. Dia hanya memasukkan sesuatu ke celah di atas pintu dan bergegas pergi. Saya masih belum bisa mengambil benda itu karena kaki saya masih lemas.
* * *
Saya pernah melihat anak muda yang gelisah itu di jembatan penyeberangan, entah seminggu atau dua minggu yang lalu. Saya pulang membeli bumbu kue waktu itu. Tiba-tiba di atas jembatan penyeberangan, saya ada yang menabrak, saya hampir jatuh. Si penabrak yang tidak lain adalah anak muda yang gelisah dan mondar-mandir di depan rumah itu, meminta maaf dan bergegas mendahului saya. Saya jengkel, apalagi begitu sampai di rumah saya tahu dompet yang disimpan di kantong plastik, disatukan dengan bumbu kue, telahraib.
Dan hari ini, lelaki yang gelisah dan si penabrak yang mencopet itu, mengembalikan dompet saya lewat celah diatas pintu. Setelah saya periksa, uang tiga ratus ribu lebih, cincin emas yang selalu saya simpan di dompetbila bepergian, dan surat-surat penting, tidak ada yang berkurang.
Lama saya melihat dompet itu dan melamun. Seperti dalam dongeng. Seorang anak muda yang gelisah, yang siapa pun saya pikir akan mencurigainya, dalam situasi perekonomian yang morat-marit seperti ini, mengembalikan uang yang telah digenggamnya. Bukankah itu ajaib, seperti dalam dongeng. Atau hidup ini memang tak lebih dari sebuah dongengan?
Bersama dompet yang dimasukkan ke kantong plastik hitam itu saya menemukan surat yang dilipat tidak rapi. Saya baca surat yang berhari-hari kemudian tidak lepas dari pikiran dan hati saya itu. Isinya seperti ini:
"Ibu yang baik, maafkan saya telah mengambil dompet Ibu. Tadinya saya mau mengembalikan dompet Ibu saja,tapi saya tidak punya tempat untuk mengadu, maka saya tulis surat ini, semoga Ibu mau membacanya. Sudah tigabulan saya berhenti sekolah. Bapak saya di-PHK dan tidak mampumembayar uang SPP yang berbulan-bulan sudahnunggak, membeli alat-alat sekolah dan memberi ongkos. Karena kemampuan keluarga yang minim itu saya berpikir tidak apa-apa saya sekolah sampai kelas 2 STM saja. Tapi yang membuat saya sakit hati, Bapak kemudian sering mabuk dan judi buntut yang beredar sembunyi-sembunyi itu.
Adik saya yang tiga orang, semuanya keluar sekolah. Emak berjualan goreng-gorengan yang dititipkan di warung-warung. Adik-adik saya membantu mengantarkannya. Saya berjualan koran, membantu-bantuuntuk beli beras.
Saya sadar, kalau keadaan seperti ini, saya harus berjuang lebih keras. Saya mau melakukannya. Dari pagi sampai malam saya bekerja. Tidak saja jualan koran,saya juga membantu nyuci piring di warung nasi dan kadang (sambil hiburan) saya ngamen. Tapi uang yang pas-pasan itu (Emak sering gagal belajar menabung dan saya maklum), masih juga diminta Bapak untuk memasang judi kupon gelap. Bilangnya nanti juga diganti kalau angka tebakannya tepat. Selama ini belum pernah tebakan Bapak tepat. Lagi pula Emak yang taat beribadah itu tidak akan mau menerima uang dari hasil judi, saya yakin itu.
Ketika Bapak semakin sering meminta uang kepada Emak, kadang sambil marah-marah dan memukul, saya tidak kuat
untuk diam. Saya mengusir Bapak. Dan begitu Bapak memukul, saya membalasnya sampai Bapak terjatuh-jatuh. Emak memarahi saya sebagai anak laknat. Saya sakit hati. Saya bingung. Mesti bagaimana saya?
Saat Emak sakit dan Bapak semakin menjadi dengan judi buntutnya, sakit hati saya semakin menggumpal, tapi saya tidak tahu sakit hati oleh siapa. Hanya untuk membawa Emak ke dokter saja saya tidak sanggup. Bapak yang semakin sering tidur entah di mana, tidak perduli. Hampir saya memukulnya lagi.
Di jalan, saat saya jualan koran, saya sering merasa punya dendam yang besar tapi tidak tahu dendam oleh siapa dan karena apa. Emak tidak bisa ke dokter. Tapi orang lain bisa dengan mobil mewah melenggang begitu saja di depan saya, sesekali bertelepon dengan handphone. Dan di seberang stopan itu, di warung jajan bertingkat, orang-orang mengeluarkan ratusan ribu untuk sekali makan.
Maka tekad saya, Emak harus ke dokter. Karena dari jualan koran tidak cukup, saya merencanakan untuk mencopet. Berhari-hari saya mengikuti bus kota, tapi saya tidak pernah berani menggerayangi saku orang. Keringat dingin malah membasahi baju. Saya gagal jadi pencopet.
Dan begitu saya melihat orang-orang belanja di toko, saya melihat Ibu memasukkan dompet ke kantong plastik. Maka saya ikuti Ibu. Di atas jembatan penyeberangan, saya pura-pura menabrak Ibu dan cepat mengambil dompet. Saya gembira ketika mendapatkan uang 300 ribu lebih.
Saya segera mendatangi Emak dan mengajaknya ke dokter. Tapi Ibu, Emak malah menatap saya tajam. Dia menanyakan, dari mana saya dapat uang. Saya sebenarnya ingin mengatakan bahwa itu tabungan saya, atau meminjam dari teman. Tapi saya tidak bisa berbohong. Saya mengatakan sejujurnya, Emak mengalihkan pandangannya begitu saya selesai bercerita.
Di pipi keriputnya mengalir butir-butir air. Emak menangis. Ibu, tidak pernah saya merasakan kebingungan seperti ini. Saya ingin berteriak. Sekeras-kerasnya. Sepuas-puasnya. Dengan uang 300 ribu lebih sebenarnya saya bisa makan-makan, mabuk, hura-hura. Tidak apa saya jadi pencuri. Tidak perduli dengan Ibu, dengan orang-orang yang kehilangan. Karena orang-orang pun tidak perduli kepada saya. Tapi saya tidak bisa melakukannya. Saya harus mengembalikan dompet Ibu. Maaf."
Surat tanpa tanda tangan itu berulang kali saya baca. Berhari-hari saya mencari-cari anak muda yang bingung dan gelisah itu. Di setiap stopan tempat puluhan anak-anak berdagang dan mengamen. Dalam bus-bus kota. Di taman-taman. Tapi anak muda itu tidak pernah kelihatan lagi. Siapapun yang berada di stopan, tidak mengenal anak muda itu ketika saya menanyakannya.
Lelah mencari, di bawah pohon rindang, saya membaca dan membaca lagi surat dari pencopet itu. Surat sederhana itu membuat saya tidak tenang. Ada sesuatu yang mempengaruhi pikiran dan perasaan saya. Saya tidak lagi silau dengan segala kemewahan. Ketika Kang Yayan membawa hadiah-hadiah istimewa sepulang kunjungannya ke luar kota, saya tidak segembira biasanya.Saya malah mengusulkan oleh-oleh yang biasa saja.
Kang Yayan dan kedua anak saya mungkin aneh dengan sikap saya akhir-akhir ini. Tapi mau bagaimana, hati saya tidak bisa lagi menikmati kemewahan. Tidak ada lagi keinginan saya untuk makan di tempat-tempat yang harganya ratusan ribu sekali makan, baju-baju merk terkenal seharga jutaan, dan sebagainya.
Saya menolaknya meski Kang Yayan bilang tidak apa sekali-sekali. Saat saya ulang tahun, Kang Yayan menawarkan untuk merayakan di mana saja. Tapi saya ingin memasak di rumah, membuat makanan, dengan tangan saya sendiri. Dan siangnya, dengan dibantu Bi Nia, lebih seratus bungkus nasi saya bikin. Diantar Kang Yayan dan kedua anak saya, nasi-nasi bungkus dibagikan kepada para pengemis, para pedagang asongan dan pengamen yang banyak di setiap stopan.
Di stopan terakhir yang kami kunjungi, saya mengajak Kang Yayan dan kedua anak saya untuk makan bersama.Diam-diam air mata mengalir di mata saya.
Yuni menghampiri saya dan bilang, "Mama, saya bangga jadi anak Mama." Dan saya ingin menjadi Mama bagi ribuan anak-anak lainnya.
Al Baqarah 273 :
"Berinfaqlah kepada orang-orang fakir yang terikat oleh jihad di jalan Allah;mereka tidak dapat berusaha di bumi. Orang-orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. kamu ketahui hal mereka dengan melihat keadaan mereka, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan di jalan Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui"

SATU NADA CINTA UNTUK BUNDA
“Jadilah yang terbaik….
Itulah kata yang sering kudengan dari bundaku, ketika usiaku mulai bisa memaknai kata-katamu yang menggantikan sanjungan-sanjungan masa kecilku. Menggantikan dongeng-dongengmu. Masih kuingat satu kisah itu….
“Putri…. Lihat , bunda bawa apa untuk putri…
mata kecilku memperhatikan sesuatu di tangan bunda. Kulihat juga senyum bunda saat menghulurkannya untukku.
“ Satu buat Putri, satu buat bang Tio dan satu lagi buat bang Eda,” begitu kata bunda. Aku diam saja menerima pembagian itu. Meskipun dalam hatiku, aku menginginkan semua rambutan itu. Bunda mulai memperhatikan tatapan mataku. Setelah mengupas dua butir rambutan lainnya untuk kakakku, bunda beranjak menghampiriku….
“Putri mau lagi ?,” Tanya bunda.
Aku pun mengangguk. Bunda pun tersenyum ke arahku.
“Bunda hanya punya tiga rambutan. Untuk putri satu, bang Tio satu dan Bang Eda satu juga. Karena Putri punya dua abang, maka Putri harus bisa berbagi dengan bang Tio dan bang Eda, seperti yang pernah bang Tio dan bang Eda lakukan pada Putri,” Bunda mendudukkanku di pangkuannya. “Habiskan yang satu ini dulu. Putri nggak boleh lupa pada saudaranya. Makanya Putri harus bisa berbagi…..
usiaku yang masih empat tahun belum cukup bisa mengeja makna kata-kata bunda. Berbagilah… dengan siapapun yang membutuhkan. Karena dalam tiap detik hidup ini, kita tidak pernah sendiri. Kira-kira seperti itulah kata-kata bunda jika kumaknai sekarang.
Bang Eda sakit. Panasnya tinggi. Saat itu, bang Eda masih memakai baju biru putih. Dan sudah tiga hari ini bang Eda sakit. Kata orang, bang Eda ini orangnya mirip ayah. Suka “mendem” perasaan. Mungkin bang Eda kangen ayah. Begitu pikirku saat itu. Kuhampiri bang Eda pelan-pelan.
“Bang.. kata tetangga-tetangga itu, bang Eda kangen sama ayah. Bener gitu bang ?,” tanyaku dengan polos.
Bang Eda hanya tersenyum memandangku.
“Naiklah…..,” perintah Bang Eda. Aku menurut untuk naik ke atas ranjangnya. “Hmmm… abang memang kangen sama ayah. Tapi abang lenih kangen sama senyum bunda….
Aku merengut. “Bunda kan tiap hari tersenyum, bang….
Bang Eda mengangguk dan memelukku. Air matanya jatuh. Aku diam saja tak mengerti.
“Napa bang Eda nangis ?,” tanyaku lai. Bang Eda menggeleng cepat.
“Bang Eda nggak nangis. Sapa yang nangis…..,” jawabnya.
“Nah itu apa….,” kataku sambil mencolok air di wajah bang Eda.
Aku bingung. Bang Eda bilang, bang Eda kangen senyum Bunda. Padahal bunda tiap hari tersenyum. Kenapa bang Eda bicara seperti itu ??
Sepagi itu sudah kulihat bunda di dapur. Mataku masih mengerjab kecil-kecil. Kulihat bang Tio sedang menim,ba dan bang Eda menyetrika bajuku dan baju bang Tio. Aku bangga pada dua abangku. Mereka tidak menjadi anak laki-laki yang jahil dan nakal seperti yang lain. Padahal usia seperti abangku adalah usia anak nakal.
“Putri.. cepetan wudlu. Sudah siang, Put…..
Kudengar teriakan bang Tio. Aku segera beranjak ke kamar mandi. Sempat juga kulirik senyum bang Tio ku.
“bang Tio… Putri mau Tanya sama abang,” kataku sambil sarapan.
“Tanya apa, Put ?
aku diam sejenak. Bang Tio dan Bang Eda memperhatikanku.
“Hmm… sekarang Bang Tio kan dah kuliah. Bang Eda juga dah SMA. Trus… trus apa abang…
Aku diam lagi.
“Trus apa, Put ?,” Tanya bunda tiba-tiba.
“Putri ndak tahu ah… lupa !!,” kataku akhirnya.
“Eh bang…. Apa abang ndak malu disuruh jualan makanan ke sekolah ?,” tanyaku meluncur begitu saja. Semua terdiam memandangku. Bunda juga. Aku jadi salah tingkah.
“Putri… semua kan untuk kita sendiri. Lagian itu kan pekerjaan halal. Kenapa musti malu ?? sekalian belajar usaha sendiri. Iya kan bunda ?,” kulihat bunda tersenyum tertahan. Bang Eda yang memang perasa segera mengakhiri sarapannya. Dan berangkat ke sekolah.
Aku tetap diam. Bang Tio memandangku dan memberi isyarat bahwa aku harus segera berangkat.
Sore ini kulihat bang Tio sudah rapi dengan sarung dan baju kokonya. Tumben abangku yang satu ini pulang cepat. Biasanya paling awal pulangnya lepas maghrib. Itupun langsung ke masjid untuk isya’-an. Bang Tio menghampiriku yang sedang memperhatikannya diam-diam.
“Hayyooo.... kenapa memperhatikan bang Tio terus dari tadi ?,” tanya bang Tio setengah menggoda. Aku tersenyum melihat tingkah bang tio.
“Tumben Bang Tio dah pulang. Biasanya.....
“Itu karena bang Tio ingin bicara sama Putri,” jawab bang Tio cepat.
Aku hanya memandangnya tak mengerti.
“Putri ingat pembicaraan kita tadi pagi waktu sarapan ?,” tanya bang Tio. Aku mengangguk pelan. Ada sedikit rasa salah di hatiku. Bang Tio menarik nafas pelan.
“Hmm.... bang Tio harap hal itu nggak terjadi lagi. Bang Tio paham pertanyaan Putri. Putri tahu, bagi bang Tio, bunda adalah sosok yang paling hebat yang pernah abang tahu. Seandainya abang punya seratus jempol, itu pun nggak akan cukup untuk menggantikan kehebatan bunda. Mungkin Putri nggak tahu waktu ayah meninggal dulu. Bunda yang telah menggantikan posisi ayah. Bunda yang telah berhasil mendidik bang Tio dan bang Eda yang sedang nakal-nakalnya. Juga Putri yang masih kecil waktu itu. Dan seperti yang Putri lihat saat ini.... bunda berhasil menjadikan kita sebagai anak-anak yang patut dibanggakan,” bang Tio semakin dalam menatapku.
“Saat bang Tio bisa kuliah seperti saat ini atau bang Eda bisa sekolah di SMU 2 yang favorit itu dan Putri juga berhasil di SMP favorit juga, semua berawal dari gorengan itu, Put....
Aku diam. Bang Tio memandangku dan memegang pundakku erat.
“Sekarang Putri dah gede. Dan bisa bantu bunda dengan segala yang Putri miliki. Kalo bang Tio lagi tidak di rumah, Putri janji kan akan nemenin Bunda dan membantu Bunda ?,” kujawab pertanyaan itu dengan anggukan.
“Putri janji ?,” tanya bang Tio sekali lagi. Kali ini dengan uluran jari kelingkingnya. Dan sekali lagi aku mengangguk sambil melingkarkan jari kelingkingku juga......

25 April.....
Genap sudah 17 tahun usiaku. Sekarang Bang Tio dah nikah. Istri bang Tio cantik. Pake jilbab rapi. Sekarang putranya sudah satu. Bang Eda sekarang pun sudah kuliah di ITB.
Dan lebaran ini, kupeluk bunda dengan segenap perasaan yang kumiliki. Bunda mengenakan pakaian yang dibelikan bang Tio. Cantik sekali.
“Bang... bunda cantik ya,” godaku. Bunda hanya tersenyum.
“Ya jelas dong.... siapa coba yang memilih bajunya.... Bang Tio !!!,” ujar bang Tio.
“Huuu...... gaya tho’ !!! Bunda kan selalu cantik dan akan tetap cantik meskipun nggak pake baju bagus,” timpal bang Eda. “lagian.... yang beli baju paling-paling juga mbak Rini. Ya kan mbak ?,” bunda tertawa mendengar coleteh kami. Silih berganti aku, bang Tio dan bang Eda menggoda bunda.
Segaaaaaaaaarrrrrrr.........................
Kuhirup udara pagi ini dengan penuh kenikmatan. Alhamdulillah rumah sudah rapi. Bunda sedang belanja dengan mbak Rini. Farhat, anak bang Tio masih tidur.
“Put... sini bentar,” teriak bang Tio dari ruang tengah.
Setengah berlari aku menyambar jilbab dan berlari ke ruang tengah. Kulihat ada bang Eda juga di sana.
“Yahh.... Putri pikir akan dapat tambahan uang saku. Kalo ada bang Eda juga, berarti .....,” kalimatku berhenti menggantung.
Bang Tio dan bang Eda berpandangan sambil tersenyum.
“Duduk sini. Abang pengin bicara sama Putri dan Eda,” kuambil tempat di depan bang Tio pas.
“Hmm... mungkin pertanyaan ini bang tio ini, Putri lebih tahu jawabnya,” bang Tio membuka pembicaraan dengan menatapku. Aku diam tanda bertanya juga.
“Putri tahu apa keinginan bunda akhir-akhir ini ?,” tanya bang Tio.
Aku diam saja dan menggeleng pelan. Bang tio tersenyum.
“Gak pa-pa. Bang Tio hanya tanya aja kok. Bang tio tanya ke Putri karena Putri yang paling sering nemenin Bunda di rumah selama bang Tio di rumah dan bang Eda di bandung,” ujar bang Tio.
“Put.... bang Tio ingin, Putri bisa menemani dan memahami bunda. Apa keinginannya. Mimpinya. Karena Putri adalah orang yang paling dekat dengan bunda selama ini. Putri yang selalu ada bersama dalam kehidupan bunda. Bang Tio ingin seklai, kita, bang Tio, Eda dan Putri bisa mengisi setiap mimpi bunda yang tertunda. Sekarang, alhamdulillah kehdupan kita lebih baik,” mata bang Tio agak memerah.
Bang Eda hanya tertunduk dalam. Bang Edaku sekarang lain. Tampak lebih gagah dengan jenggot tipisnya. Kata orang-orang bang Eda sangat mirip ayah.
“Da... kamu juga. Kalo ada waktu sering-seringlah pulang. Jangan egois dengan mengkorupsi waktu untuk Bunda dan Putri. Sekali waktu ambillah cuti dari kegiatan kampusmu dan temani bunda sebisa mungkin. Kamu juga tahu kan kalo bunda dan Putri selalu butuh orang untuk diajak berbicara. Posisimu saat ini adalah posisi sebagai ayah, Da. Kamu juga ingat kan dengan At tahriim 6. pulanglah kalo memang ada waktu luang. Yang bang Tio tahu, kamulah orang yang paling disayang dan diperhatikan bunda. Tapi bukan bearti bunda pilih kasih. Itu semua karena sifatmu yang halus. Sifat dominan ayah menurun padamu. Jadi kamu jangan egois dengan mengkorupsi waktu untuk bunda.....
panjang bang Tio berbicara pada bang Eda. Bang eda hanya diam dan tertunduk dalam. Bang Eda nangis. Memang yang kutahu, bunda adalah sosok paling hebat yang pernah kumiliki. Sosok paling kuat bagi kami, putra-putrinya.
Masih kuingat tangis bunda saat pernikahan bang Tio. Bunda memeluk bang Tio erat-erat. Menciumnya. Bahkan sempat kudengar bunda berbisik meinta maaf pada bang Tio. Maaf karena bunda belum bisa memberi banyak pada Tio. Bunda hanya punya cinta untuk Tio dan Rini.....
Itulah bundaku. Bundaku yang hebat. Kuat dan .... sejuta julukan lagi untuknya. Aku bangga memiliki bunda sepertinya.
“Bunda ingin Tio, Eda dan Putri bisa menjadi anak-anak bunda yang hebat. Menjadi yang terbaik untuk smua. Bunda ingin kita semua, bunda, Tio, Eda dan Putri bisa selalu berbagi. Dengan siapa saja. Sekalipun kita pernah dilukai.
Selama ini bunda merasa bunda belum memberikan kalian kebahagiaan. Tapi kalian selalu berkata, “terima kasih bunda, atas semua kebehagiaan yang telah bunda berikan”. Eda selalu berkata, bunda adalah bidadarinya. Tio selalu meyanjung bunda dengan kata pahlamwan nya. Dan Putri selalu bilang, bunda adalah mutiara hidupnya. Bunda bener-benar bangga dengan gelar-gelar itu, sayang…..
Bunda selalu ingat dulu waktu kalian suka ngambek. Bunda sering tertawa sendiri kalo ingat saat itu. Sulit sekali bagi bunda untuk memberi pemahaman pada kalian tentang kepergian ayah kalian. Yang paling bunda rasakan adalah kemarahan Eda. Kemarahan Eda seperti menekannya. Sulit sekali bicara dengan Eda yang suka mendem itu. Harus pelan-pelan. Tapi bunda tidak akan lelah berkata, bunda bangga memiliki kalian sebagai mutiara hati bunda….
Jadi bunda ingin, bunda bisa selalu mengucapkan terima kasih pada kalian semua yang telah menjadi permata-permata bagi bunda. Bunda sayang kalian…..

Bunda
Tulisan itu, kuterima saat bunda ultah. Bunda sendiri yang menulisnya. Untukku, bang Tio dan bang Eda.
Kalo saja aku bisa mengungkapkan… aku ingin selalu berakata sayang pada bunda. Aku ingin selalu menjadikannya orang nomer satu yang kuhormati. Tapi akhirnya, memang ada yang harus lebih kuhormati saat ini.
“Lupakan bunda, sayang… sekarang sudah ada orang yang harus kau taati kata-katanya. Lebih kau hormati. Lebih kau sayangi. Bunda akan bahagia sekali melihat Putri juga bahagia. Putri tersenyum selalu. Tersenyum di atas kebahagiaan Putri sendiri. Maafkan bunda yang belum…
“Bunda… tidak !! Bunda telah memberi untuk Putri. Semua yang Putri tidak dapatakan dari orang lain, Putri dapatkan dari Bunda. Jadi bunda nggak boleh berkata maaf sama Putri,” jilabab bunda basah dengan air mataku. Bunda pun menagis memelukku. Allah….
“Putri harus taat pada Bimo. Dan Bimo… sekarang Putri bukan tanggung jawab bunda lagi. Dia sepenuhnya menjadi tanggung jawabmu. Kamu boleh jewer dia kalo dia nakal atau bandel….
Kupeluk bunda dengan erat. Bang Tio, bang Eda. Sampai akhirnya tak satupun yang dapat kami ucap selain alhamdulillah.
Satu nada cinta untuk bunda memang tak akan pernah berhenti berdenting. Seperti halnya cinta kami untuknya, yang tak akan habis baginya. Banyak hal yang akan tetap kuingat dari bunda. Tatapannya, sentuhannya… Cintanya… peluknya… kesabarannya…. Semua yang pernah kurasakan dari seorang bunda. Sampai akhirnya semua kebahagiaan itu berakhir, masih saja kulihat senyum bunda yang berkata, aku sayang kalian…..

Arsya @ 25 jan’03
Segala keindahan utk bunda….

Sunday, May 15, 2005

Siapapun kamu, Catlya!

Sembilan !! Buat saya angka segitu pas banget untuk penampilan si Barbie. Oo ya, Barbie yang ini bukan Barbie boneka yang senang berpakaian mahal, tapi julukan yang saya beri buat seorang gadis : "The Real Beautiful Girl". Saya, yang kata orang punya selera tinggi, memang betul mengakui kalau gadis itu cantik. Tulang pipinya seperti milik Nadya Hutagalung, unik. Bibirnya seperti Laura, penuh. Kulitnya setransparan Ida Iasha, matanya coklat seperti....
Ups, jarum jam sudah bergerak sepuluh menit sejak saya berdiri di halte dekat rumah ini, tapi ke mana angkot biru itu! Halte sudah sepi.Tinggal saya dan Barbie. Kami memang menunggu angkot yang sama. Barbie, yang baru dua hari jadi pelanggan halte, kelihatan tenang-tenang saja. Tuhan mendengar doa saya ! Angkot biru itu menepi. Rupanya sebelum tangan saya melambai, Barbie melakukannya lebih dulu.
***************
Lelah, saya baru dari Tanah Abang. Saya jadi akrab dengan tempat itu, semenjak hunting jilbab sebulan yang lalu. Di plaza dekat rumah paling cuma ada satu toko muslim yang menjual kerudung. Sudah biasa, pameran-pameran jilbab baru semarak kalau dekat lebaran. Kalau bulan-bulan seperti ini paling gampang ya, ke Tanah Abang. Meski pulang dari sana badan pegal semua dan rasanya ingin nyemplung ke bak mandi. Byuuuur!
Insya Allah, Senin depan saya hijrah ... kenapa mesti Senin ? Itu sama saja dengan menanyakan kenapa saya suka makan sup kimlo. Sama susahnya untuk dijawab. Sebenarnya keinginan suci itu sudah lama terpendam. Tapi baru terwujud sekarang saat saya tingkat dua. Rasanya tidak sahar menunggu hari kehijrahan. Saya memang sengaja buat surprise, yang tahu soal itu cuma mami seorang. Jadi semenjak sebulan ini saya berusaha nyicil jilbab sedikit demi sedikit. Saya juga rajin bertanya pada teman yang jilbaber bagaimana cara memakai jilbab, bla-bla-bla... Di rumah memang belum ada yang berjilbab, habis kakak saya cowok semua. Mami ? Lebih suka dengan kerudung Benazir-nya.
Pertama saya mencoba jilbab saat ke pengajian mingguan. Wah heboh, persiapannya lumayan lama sampai nasi goreng spesial Mbak Siti siap. Kalau sekarang sih saya sudah gape. Bahkan sudah tahu trik-triknya, misal kalau wudhu jilbab tidak perlu dilepas semua, tinggal dibalik.... Tapi tentu hijrah bukan berarti cuma mengganti pakaian saja. Saya tahu semua mesti dibarengi dengan menjilbabi hati. Saya memang perlu belajar banyak. Oya, ini sedikit catatan saya.
1. Ketawa jangan menggelegar lagi. Syukur ada sapu tangan Mr. Groovy yang kemarin saya beli. Lumayan buat membekap mulut saya bila kelepasan tertawa.
2. Jangan suka melirik cowok. Ooww. Berat, apalagi kalau cakep dan beralis tebal. Tapi saya coba.
3. Parfum, jangan sampai tercium ke mana-mana. Padahal Red Jeans, parfum hadiah dari tante saya yang pramugari itu baunya enak, lho. Tapi, saya coba juga. Dengan menyebut nama Allah ...
***************
Begitulah, dan Senin yang dinanti-nanti itu pun tiba. Saya bangun lebih awal dari weker. Pagi ini saya kuliah dengan perasaan beda. Swear, ada rasa lain. Entah apa, mungkin rasa damai yang sangat. Halte lumayan ramai. Ada Barbie. Kali ini dia memakai celana... Uff, saya tidak bisa bebas memperhatikannya. Barbie yang biasanya menatap jalan tanpa peduli dengan sekitarnya kini sedang memandang ke arah saya.
Saya? Tumben! What's wrong? Biasa dong, jangan GR. Pulang kuliah saya mendapat trik nomor sekian. Kalau sudah berjilbab jangan suka seradak-seruduk biar rok tidak kelibet. Maklum hari pertama, semua belum biasa. Muiai dari Barbie yang terus memperhatikan saya sampai teman-teman kampus yang memberi selamat tulus atau cuma bisik-bisik.
Saya agak bingung, dulu saat Rita teman kampus saya hijrah, tidak ada kejadian seperti tadi. Karena saya anak gunung? Atau karena saya tidak pernah muncul di rohis tapi tiba-tiba berjilbab? Atau.... Ah, biar saja, saya malas mengira-ngira. Terima kasih Allah, hidayah itu jadi milik Renita. Dan mudah-mudahan akan tetap menjadi milik saya. Sampai kapan pun, kalau Engkau menghendaki.
***************
Tiga bulan lebih saya berjilbab. Dan kesimpulan teman-teman PA (Pencinta Alam) adalah saya telah berubah. Tidak bisa apa adanya seperti dulu. Tidak 'inilah gue' lagi. Jarang datang kalau ada acara. Jangankan acara naik gunung, main sega di posko juga tidak pernah lagi. Giliran teman yang main ke rumah, saya dibilang ogah-ogahan. Jangan harap bisa nonton bareng atau jalan-jalan mencoba makanan resto Jepang.
"Gue kangen Renita yang dulu. Apa mesti begitu sih, Ren! Apa jilbab itu mesti membuat suasana ini jadi kaku? Apa mesti membuat kamu menjauh dari PA? Apa nggak bisa semua berjalan seperti dulu?! Toh kita juga tau batasan-batasannya ...," protes Kevin siang tadi. Well, saya bingung sekali, Tuhan. Hhhhh.... saya tahu semua ini akan terjadi. Mbak Ida pernah bilang ada saatnya kita harus berkorban untuk sesuatu yang lebih. Ya, dia telah melakukannya. Dia mengorbankan profesinya sebagai balerina. Lalu apa ini berarti, saya harus mengorbankan semua itu juga ? Rasanya saya sudah tahu jawabannya.
Selama ini saya telah dipusingkan dengan dana lomba panjat dinding di kampus. Sekarang kenapa mesti dipusingkan lagi dengan masalah kecil tadi. Saya memang telah menjabat sebagai korum lomba panjat dinding di kampus. Setelah protes datang dari teman-teman PA, saya tertantang menunjukkan bahwa jilbab tidak perlu menghalangi langkah saya. Tapi seiring dengan meningkatnya keaktifan di PA, keinginan-keinginan dulu seperti hilang begitu saja. Keinginan untuk menjadi bagian dari Keputrian. Keinginan untuk memperdalam ilmu Allah...
Saya yang dulu suka tertawa menggelegar, tetap suka melakukannya. Sapu tangan Mr. Groovy ? Entah lenyap kemana. Saya yang dulu selalu berbaur dengan cowok, tetap akrab bergaul. Saya yang dulu suka ngejins, sekarang kembali ngejins. Bedanya dulu di rambut saya ada jepit imut, sekarang tidak karena sudah tertutup jilbab. Kalau pantas dikenakan di jilbab, mungkin masih saya pakai. Ah. Tidak lucu sama sekali.
Barbie muncul lagi di halte ini setelah ..... mmm, lama juga dia menghilang. Hei, kemana saja kamu selama ini! Mata coklatnya kembali mengamati saya. Dia jadi suka memperhatikan saya. Tapi biar saja, suka-suka dia. Saya duduk di bangku halte, menyilangkan kaki yang dibalut celana jins. Melepaskan pandangan pada jalan-jalan yang masih sepi. Menikmati udara pagi yang masih jernih. "Saya lebih suka melihat kamu pake rok."
Komentar spontan itu mengusik kenikmatan saya. Dan ternyata si Barbie yang mengatakannya! "Jilbab salem ini lebih manis dipakai dengan rok kotak-kotak yang kamu pake saat itu." Dahi saya berkerut. Kenapa Barbie? Mengapa kamu menjelma menjadi pemerhati yang sukses seperti saya! Dan apa pula urusanmu dengan rok atau celana yang saya pakai? Angkot biru datang. Saya sengaja memilih tempat duduk di pojok.
"Saya pengen lihat kamu pake rok dulu lagi," Barbie pagi ini muncul lagi dengan komentar senada. "Waktu pertama kali kamu memakai rok biru bunga-bunga kecil dengan jilbab biru donker itu, saya suka sekali." Ya! Sejak saya hijrah, Barbie yang biasa saya perhatikan itu sekarang balik memperhatikan saya. Malah berani berkomentar tanpa basa-basi berkenalan. Eh, apa salahnya kalau saya yang memulai?
"Saya Renita, kamu siapa?" tanya saya sambil menyodorkan tangan, memulai perkenalan. Aneh. Padahal kita sudah lama ketemu. "Panggil saya Catlya!" Sekian basa-basinya. Sekarang langsung saja tanya kenapa si Barbie, eh Catlya itu suka mengomentari orang.
"He, malah bengong. Kamu mau kuliah?" seru Catlya.
"Iya."
"Telat sedikit nggak pa-pa khan? Nanti saya traktir di cafe pojok itu. Jangan takut, halal kok!"
Baru kali ini saya menemukan pribadi unik seperti Catlya. Belum kenal sudah mengomentari penampilan orang, sekarang baru semenit kenal sudah berani membujuk, nanti kalau sudah lama kenal bisa-bisa..... Saya penasaran! Jadi kenapa tidak bilang ya? Lagipula kuliah baru dimulai pukul 11.
Akhirnya saya dan Catlya duduk di cafe mungil dengan kopi dan sepotong Croissant di meja."Sorry, selama ini mungkin saya ngebingungin kamu. Saya emang nggak bisa dan nggak biasa basa-basi. Tapi semua yang saya katakan itu benar-benar keluar dari hati saya. Sungguh." Ucap Catlya sambil mengangkat dua jarinya yang penuh cincin perak. Kocak.
Sebelum saya sempat mengeluarkan kata-kata, Catlya buru-buru meletakkan telunjuk di bibirnya. "Saya nggak bermaksud menggurui penampilan kamu. Saya cuma ingin mengatakan pendapat saya, bahwa saya suka penampilan kamu yang dulu. Please, biarkan saya menyelesaikan pembicaraan."
Hening. Catlya terdiam. Perlahan mata yang tadi penuh bintang itu tampak redup. "Dulu, saya pernah berjilbab." Potongan keju lumayan besar tanpa sengaja saya telan.
"Hidayah itu datang begitu saja, membuat teman-teman yang kenal siapa saya tak habis pikir, lalu.... semua terjadi. Saya nggak tau secara pasti dimana letak kesalahannya. Padahal saya sempat merasakan menjadi muslimah sejati. Setiap hari hidup saya penuh dengan dakwah. Namun entahlah, saya tidak menemukan kebahagiaan itu seperti yang lainnya. Tiba-tiba saja semua jadi membosankan. Saya bosan bergamis, bosan dengan nasyid, bosan ke pengajian. Saya bosan menjadi orang lain! Hingga sisa masa lalu hanyalah jilbab yang melekat di kepala yang semakin mengecil, celana jins dan kaos asal tangan panjang, tidak peduli ketat atau tidak. Puncaknya saya mulai menginginkan kehidupan saya yang dulu...."
"Ya, kehidupan dimana dunia begitu ramah pada diri saya. Keindahan duniawi begitu mudah saya peroleh, semudah membalikkan tangan. Saya mulai merindukannya."
"Setiap menit kerinduan itu datang, setiap menit pula saya berusaha mencegahnya. Namun akhirnya hari-hari saya selalu dipenuhi dengan pikiran itu. Tak bosan-bosannya saya berandai, andai saya tidak memakai jilbab pasti saya lebih cantik. Ya, semua kecantikan itu telah tertutup meski dengan sehelai jilbab kecil. Akhirnya jilbab itu saya lepas ..." Kopi yang saya minum terasa lebih pahit. Batin saya beristighfar.
"Reaksi kampus? Jangan tanya kehebohannya. Keputrian puas memanggil saya, memperingati dari yang lembut hingga yang keras. Banyak teman yang mencemooh, tapi banyak pula yang memuji penampilan saya yang baru. Semua memang kembali seperti dulu. Kemana saya melangkah, semua mata memandang. Semua terjadi persis seperti apa yang saya mau. Kampus hanya membicarakan satu nama dengan pujian. Catlya." Bening itu menetes satu dari mata Catlya.
"Tapi, sungguh, dibalik semua itu ada perasaan lain yang hilang jauh terhempas. Di balik gemerlapnya dunia yang begitu ramah pada saya, ada dunia lain yang menghilang. Tak ada lagi perasaan aman yang menyertai langkah saya, tak ada lagi perasaan damai yang mengisi hati saya, tak ada lagi perasaan indah yang menghiasi kalbu saya. Saya memang mendapatkan kebahagiaan yang saya idamkan, tetapi sungguh kebahagiaan yang mahabesar yang seharusnya saya peroleh ... terbang jauh."
Catlya menghapus sisa beningnya. "Saya tak ingin itu terjadi padamu, Renita. Yang saya lakukan persis sama denganmu melalui tahap-tahap, mulanya dengan mengubah pakaian lalu akhirnya mengubah hidayah itu. Bukan saya bermaksud menuduh kamu. Tidak sama sekali." Catlya mengakhiri ceritanya.
Saya sendiri masih sibuk dengan pikiran saya, hingga... "Tapi, ada hal yang membingungkan saya. Kenapa sekarang kamu tidak berusaha mendapatkan hidayah itu lagi! Setelah semua ini, ya, kenapa?" tanya saya mencari jawabannya di mata basah itu. Catlya tersenyum dan membuang tatapannya.
"Banyak orang yang setiap detik menangisi kesalahannya, tetapi mereka tetap tidak mampu mengubah kesalahannya. Hidayah Allah memang mahal harganya. Maka bila kamu memperolehnya, peliharalah. ]angan pernah membiarkannya lepas," Catlya kemudian melangkah pergi, meninggalkan saya sendiri.
***************
Sebulan telah berlalu. Catlya tak pernah ada lagi. Entahlah. Catlya seperti menghilang begitu saja. Ia seakan sosok yang dihadirkan-Nya kepada saya untuk membuat mawar merah dalam hati ini mekar kembali.
Catlya, siapapun kamu, izinkan saya berkata : hidayah Allah memang mahal. Tapi bukan berarti kita tidak bisa meraihnya. Mengapa tidak mulai merajut benang-benang hidayah itu kembali? Insya Allah dengan tekad yang kuat, tidak hanya satu bahkan jutaan hidayah-Nya akan tercapai. Dan Catlya sayang, percayalah, bukan hanya dunia tetapi semesta raya akan membicarakanmu dengan pujian.
Pagi ini saya terduduk di halte. Membiarkan dua angkot biru kosong lewat begitu saja. Membiarkan angin sepoi-sepoi memainkan ujung rok hitam lembut yang saya kenakan.
(By : Yunita Meldasari)